Posted by : ismailamin Rabu, 21 Oktober 2015

Kalau sejumlah kaum muslimin di Negara lain menyambut kedatangan bulan Muharram dengan bersuka cita dan saling mengucapkan selamat akan bergantinya tahun, masyarakat Iran justru melarutkan diri dalam majelis-majelis duka. Bulan Muharram bagi masyarakat Iran yang mayoritas bermazhab Syiah adalah bulan duka, bulan yang mengharu biru, bulan yang menggoreskan kenangan akan peristiwa paling pahit dalam sejarah Islam.

Karena itu, bergantinya tahun hijriah yang seringkali dijadikan momen untuk bergembira dan saling mengucapkan selamat, tidak akan ditemukan dilakukan oleh warga Iran. Rasa belasungkawa akan syahidnya Imam Husain As beserta keluarga dan sahabatnya yang terbantai di Karbala mereka tunjukkan bukan hanya dengan pakaian serba hitam yang mereka kenakan, namun juga pemasangan umbul-umbul bendera hitam, ornamen-ornamen yang dipasang di tepi-tepi jalan, masjid dan tempat-tempat umum yang berisi pesan duka Asyura, termasuk mencat mobil-mobil mereka dengan tulisan Husain, Zainab, Ali Asghar, Aba al-Fadhl dan nama tokoh-tokoh lainnya dalam peristiwa Karbala.





Secara resmi, warga Iran memperingati peristiwa Asyura selama sepuluh hari berturut-turut, dari tanggal 1 sampai 10 Muharram. Hari kesembilan dan hari kesepuluh dijadikan hari libur nasional. Selama kesepuluh hari tersebut, setiap sehabis shalat Isya berjama’ah, diadakan majelis-majelis duka. Ratusan warga berbondong-bondong memadati masjid-masjid dan Husainiyah tempat diadakannya majelis-majelis duka tersebut. Acara dibuka dengan tilawah al-Qur’an dan  dilanjutkan dengan ceramah agama yang berisi pesan dan hikmah dari kisah-kisah kepahlawanan Imam Husain As beserta keluarga dan sahabatnya di padang Karbala. Disaat Khatib menyampaikan ceramahnya, tidak jarang terdengar suara isak tangis dari para jama’ah. Peristiwa kematian Imam Husain As meski sudah berlalu 1400 tahun lalu, namun bagi mereka tampak seolah-olah baru terjadi kemarin sore. Setelah mendengarkan ceramah, lampu-lampu dipadamkan, dan hanya menyisakan sedikit cahaya. Dalam suasana nyaris gelap itu, seseorang tampil untuk membacakan maqtal atau syair-syair duka. Pada prosesi ini, para jama’ah dilibatkan. Kesemuanya berdiri dan mengiringi kidung duka yang dinyanyikan sembari menepuk-nepuk dada. Suasana haru semakin menyeruak setiap disebutkan nama al Husain. Diakhir acara, panitia akan membagikan kotak makanan dan disantap bersama. Majelis ini berlangsung selama sepuluh malam berturut-turut.


Dalam majelis ini tidak adegan melukai diri, tidak ada aksi memukul badan dengan benda tajam hingga berdarah-darah. Ulama-ulama Iran memberikan fatwa akan keharaman melukai diri apalagi sampai berdarah-darah dalam memperingati hari Asyura. Fatwa itupun menjadi hukum postif bagi kepolisian Iran untuk membubarkan dan menangkapi mereka yang melakukan aksi melukai diri dalam majelis Husaini. Sayang, karena perbuatan segelintir Syiah di Irak, Afghanistan dan Pakistan yang masih juga memperingati Asyura dengan tradisi melukai diri, Syiah pun diidentikkan dengan perbuatan irasional tersebut. Patut diketahui, kalau memang melukai diri dianggap ibadah yang afdhal dilakukan pada peringatan Asyura, maka yang paling pertama melakukannya adalah ulama-ulama dan kaum terpelajar dari kalangan Syiah, dan itu harusnya bermula dari Iran, sebagai sentral keilmuan penganut Syiah. Faktanya, tidak satupun ulama Syiah yang melakukannya, yang ada justru memfatwakan keharamannya. Dan kalau memang itu sudah menjadi bagian dari tradisi Syiah, maka tentu jumlah orang-orang Syiah yang melakukannya jauh lebih banyak dari yang tidak. Faktanya, yang melakukannya tidak seberapa, dan itu hanya ada diluar Iran, tidak di Iran.



Mengenang Ali Asghar

Pada hari Jum’at pagi, dari kesepuluh hari awal Muharram itu, diperingati secara khusus kesyahidan Ali Asghar, putra Imam Husain As yang masih berusia beberapa bulan namun turut menjadi korban kebengisan tentara-tentara Yazid. Dikisahkan, bayi Imam Husain As tersebut dalam kondisi kehausan, sebab sumber mata air berada dalam penguasaan tentara Yazid dan tidak mengizinkan kafilah Imam Husain untuk mengambil airnya barang setetes pun. Kasihan dengan bayinya yang merengek kehausan, Imam Husain As pun memeluk dan menggedongnya. Beliau menghadap pasukan Yazid untuk diizinkan mengambil air, setidaknya untuk menghilangkan dahaga bayinya tersebut, sembari memperlihatkan kondisi Ali Asghar yang dicekik kehausan. Bukannya iba, seorang tentara Yazid malah melezatkan anak panah yang tepat mengenai leher bayi Imam Husain As tersebut, yang kemudian mati seketika dipelukan ayahnya. 








Kejadian tragis ini secara khusus diperingati pada hari Jum’at pertama bulan Muharram. Ribuan ibu dengan bayi-bayinya yang berkostum pakaian Arab paduan warna hijau dan putih lengkap dengan surban dan ikat kepala yang bertuliskan Ali Asghar, memadati masjid-masjid dan tanah-tanah lapang. Ditempat itu mereka mendengarkan ceramah khusus mengenai kisah kesyahidan Ali Asghar dan betapa pedihnya hati Imam Husain As melihat kematian bayinya yang tragis di pelukan sendiri, justru oleh mereka yang mengaku sebagai muslim dan pengikut Nabi Muhammad Saw. Suasana haru dan emosional tidak terhindarkan ketika kisah yang menyayat hati itu kembali disuguhkan. Ibu-ibu tersebut menangis sambil mendekap bayi mereka masing-masing sembari membayangkan kesedihan dan kepiluan hati Imam Husain melihat bayinya tergeletak tanpa nyawa. Dalam acara ini tidak ada adegan orangtua mengiris bayinya dengan pedang hingga berdarah, hanya sekedar untuk merasakan kepedihan Imam Husain. Foto yang beredar di media sosial yang menggambarkan kepala seorang anak yang berdarah-darah karena dilukai oleh orangtuanya sendiri, kejadiannya bukan di Iran. Itu adalah kelakuan orang-orang yang ekstrim yang justru mendapat kecaman dari ulama Syiah sendiri, yang tidak bisa menjadi representatif semua Syiah pasti melakukan itu.  

Pada hari kesembilan Muharram -yang dikenal juga dengan sebutan Tasu’a Husaini- dan pada hari kesepuluh –dikenal dengan sebutan hari Asyura- karena menjadi hari libur nasional, jalan-jalan raya dipadati oleh ribuan warga dengan pakaian serba hitam yang berjalan kaki. Disepanjang jalan, terdapat posko-posko yang menyediakan minuman panas dan makanan ringan secara gratis. Satu-dua jam menjelang shalat dhuhur masjid-masjid dan juga kantor-kantor resmi ulama-ulama Marja dipadati lautan manusia. Ditempat-tempat itu mereka berkumpul untuk menumpahkan rasa haru dan kesedihan yang sama. 





Suara isak tangis yang tak tertahan terdengar dimana-mana disaat khatib menyampaikan detik demi detik proses terbantainya Imam Husain As di Karbala. Bagaimana saat dadanya yang telah penuh dengan sayatan pedang ditindih dan kemudian kepalanya dengan tebasan pedang dipisahkan dari tubuhnya. Tangisan mereka dengan tragedi memilukan yang menimpa cucu Nabi Muhammad Saw tersebut bukan untuk menyesal atas apa yg telah terjadi melainkan upaya merawat dan menjaga ingatan dan kenangan atas perjuangan dan pengorbanan keluarga Nabi dalam menjaga eksistensi agama ini. Bangsa kita juga punya tradisi yg sama dalam mengenang pengorbanan para pahlawan bangsa? ada upacara bendera, ada hening cipta, ada ziarah kemakam pahlawan, ada pembuatan film perang melawan penjajah, ada pementasan drama, ada pembacaan puisi dan seterusnya. Yang tentu tujuannya bukan untuk mengorek luka sejarah, bukan pula untuk menyimpan dendam, melainkan untuk menghidupkan semangat kepahlawanan, patriotisme dan pengorbanan para pejuang terdahulu supaya generasi sekarang juga punya smangat yang sama.



Bagi rakyat Iran, tangisan mengenang al Husain bukanlah tangisan cengeng. Melainkan tangisan yang justru membakar semangat perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan sebagaimana yang diwariskan Imam Husain As melalui tragedi Karbala. Rakyat Iran menyodorkan bukti, bahwa bermula dari tangisan itulah, revolusi besar yang mengubah takdir Iran dengan menjungkalkan rezim Shah Pahlevi telah mereka rancang dan ledakkan. Imperium Persia yang berusia 2.500 tahun beralih menjadi Republik Islam, dimulai dari tangisan mengenang al Husain.

Ismail Amin, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Tafsir Al-Qur’an Universitas Internasional al Mustafa Qom Republik Islam Iran


{ 3 komentar... read them below or Comment }

  1. Kisah terbantainya HUsain. Lagu lama yang selalu disenandungkan. Upacara, ziarah, pementasan film, puisi, bagi saya sekedar Formalitas di negeri ini....

    BalasHapus
  2. Salah satu kesesatan dan keanehan Syiah, yg membawa ajaran gak pernah diagungkan tapi yg pengikutnya malah diagungkan.....

    BalasHapus

Welcome to My Blog

Tentang Saya

Foto saya
Lahir di Makassar, 6 Maret 1983. Sekolah dari tingkat dasar sampai SMA di Bulukumba, 150 km dari Makassar. Tahun 2001 masuk Universitas Negeri Makassar jurusan Matematika. Sempat juga kuliah di Ma’had Al Birr Unismuh tahun 2005. Dan tahun 2007 meninggalkan tanah air untuk menimba ilmu agama di kota Qom, Republik Islam Iran. Sampai sekarang masih menetap sementara di Qom bersama istri dan dua orang anak, Hawra Miftahul Jannah dan Muhammad Husain Fadhlullah.

Promosi Karya

Promosi Karya
Dalam Dekapan Ridha Allah Makassar : Penerbit Intizar, cet I Mei 2015 324 (xxiv + 298) hlm; 12.5 x 19 cm Harga: Rp. 45.000, - "Ismail Amin itu anak muda yang sangat haus ilmu. Dia telah melakukan safar intelektual bahkan geografis untuk memuaskan dahaganya. Maka tak heran jika tulisan-tulisannya tidak biasa. Hati-hati, ia membongkar cara berpikir kita yang biasa. Tapi jangan khawatir, ia akan menawarkan cara berpikir yang sistematis. Dengan begitu, ia memudahkan kita membuat analisa dan kesimpulan. Coba buktikan saja sendiri." [Mustamin al-Mandary, Penikmat Buku. menerjemahkan Buku terjemahan Awsaf al-Asyraf karya Nasiruddin ath-Thusi, “Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa” diterbitkan Pustaka Zahra tahun 2003]. Jika berminat bisa menghubungi via SMS/Line/WA: 085299633567 [Nandar]

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ismail Amin -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -