Posted by : ismailamin
Senin, 25 April 2016
Anak-anak bukan milikmu
Mereka
putra-putri kehidupan
Yang
rindu pada dirinya
Kau
bisa berikan kasih sayangmu
Tapi
tidak pikiranmu...
Begitulah Kahlil Gibran, penyair asal Libanon berbicara soal hakekat
kemanusiaan. Syair diatas dikutip dari buku kecil, The Prophet, Gibran’s master piece, 1976 yang telah diterjemahkan
dalam lebih dari 20 bahasa. Syair Kahlil Gibran tentang anak tersebut memang
indah dan bermakna dalam. Kita dapat menangkap bahwa esensialnya anak itu adalah
milik dirinya sendiri. Para orangtua dan masyarakat secara umum hanyalah berkewajiban
membesarkan dan mendidik. Ibu berkewajiban memberikan cinta hatinya tetapi
pikiran anak itu adalah hak dirinya sendiri sepenuhnya. Orangtua dalam
membesarkan dan mendidik dapat dengan cara memberikan pengetahuan dan isi-isi
untuk bahan pemikiran anak itu; tetapi tidak sampai membuat pikiran-pikiran
orangtua adalah harus sepenuhnya menjadi pikiran anak juga. Dari sinilah
kemudian terjadi ’kekisruhan budaya’ (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib)
hubungan antara anak dan orangtua. Dalam banyak kejadian sering orang-orangtua
kita bukan sekedar memberikan alternatif tetapi menganggap bahwa apa yang
diberikan kepada anak adalah satu-satunya yang terbaik, tidak ada alternatif lain.
Ajaran orangtua sepenuhnya harus dianut, dipatuhi dan orangtua bisa
sakit-sakitan dan bersedih hati jika sang anak tidak mengikuti pikirannya. Dalam
hal ini, seringkali orangtua menjadi tiran bagi anaknya. Orangtua menerapkan
konsep pikirannya pada anaknya. Orangtualah yang mengarahkan dan menentukan
jalan hidup dan masa depan anaknya. Orangtualah yang memilihkan cita-citanya,
profesi, bahkan sampai hal yang paling privacy mengenai pilihan suami atau
istri misalnya. Anak-anak sering dianggap sepenuhnya adalah milik orangtua yang
tidak memiliki dunia sendiri. Bagaimana kemudian kita melihat anak-anak yang
sebetulnya cerdas menjadi kurang bertumbuh bahkan teramat kerdil karena
kebanyakan orangtua punya kecenderungan untuk terlalu mengatur mereka, terlalu
menentukan, terlalu menyutradarai, terlalu mengarahkan, terlalu banyak
memerintah dan melarang yang pada akhirnya membuat nafas kemerdekaan anak-anak
menjadi tersengal-sengal.
Kreativitas yang Terpasung
Kreativitas memerlukan kemerdekaan. Kemerdekaan disini bukanlah kebebasan
yang sebebas-bebasnya. Tentu saja yang dimaksud adalah kemerdekaan dalam
konteks kodrati manusia. Ketika orangtua memberi pandangan. Sang anak berhak
sepenuhnya untuk menerima atau menolak pandangan tersebut. Perlu ada kebiasaan
untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk menentukan sendiri pilihannya,
arah dari pilihan tersebut serta resiko apapun yang bakal terjadi dari pilihan
tersebut. Persoalannya, anak kurang dididik untuk mengungkapkan dan mengenali
dirinya. Anak lebih banyak dikendalikan daripada dimerdekakan. Sebab
kemerdekaan itu besar resikonya dan dibutuhkan kesediaan untuk
mungkin’diberontak’ oleh anaknya. Salah satu buktinya, polling yang pernah
dilakukan oleh salah satu media tentang keinginan orangtua terhadap anaknya,
hampir 70 % orangtua menginginkan anaknya rajin, sopan dan patuh dan hanya
segelintir orangtua yang menginginkan anaknya cerdas dan kreatif.
Anak-anak (di) Sekolah, The Lost
Generation
Faktor penentu selanjutnya
anak-anak kehilangan kreativitas dan
dunianya adalah pendidikan formal dalam hal ini sekolah ataupun universitas. Sekolah yang idealnya menawarkan
kegembiraan dan dunia petualangan yang bikin penasaran dalam banyak hal tidak
lebih baik dari pola pendidikan orangtua kebanyakan. Di sekolah para anak didik
terlalu disetting dan diformat sesuai dengan kehendak dan keinginan sekolah.
Ketika memasuki halaman sekolah, anak-anak sebagai individu hilang secara
autentik. Yang ada adalah penyeragaman yang menepis kekhasan manusia sebagai
makhluk unik yang tak bisa dibandingkan dengan manusia lain diluar dirinya. Anak didik hanya memainkan peran pembantu,
sebab guru adalah aktornya, pelajar hanya akan menjadi pelengkap penderita yang
lebih diperlakukan sebagai obyek ketimbang subyek. Proses pendidikan semacam
ini menurut Chaedar Alwasih (1993;23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’
kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan verbalisme. Verbalisme merupakaan
suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan
formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya
kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model
pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, hubungan antara guru dengan murid sangat hirearkis
dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh
sementara murid menjadi pendengar saja.
Tidak banyak yang sadar bahwa dengan model pendidikan yang menjadikan murid
semata-mata sebagai obyek
adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap anak. Pendidikan gaya bank
menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para
murid. Murid dibelenggu dan ditekan untuk mematuhi apapun perintah dan anjuran
pendidik. Kesadaran individu dikikis habis dan mengggantinya dengan kesadaran
kolektif yang seragam. Efeknya memunculkan kepribadian yang mekanik, mirip
dengan benda mati yang kehilangan kebugaran dan kreativitas. Dari sinilah
proses pembinatangan (bahasa halusnya: dehumanisasi) terjadi.
Kita dapat saksikan bagaimana nasib anak-anak yang sekarang waktu yang
seharusnya diisi dengan permainan dan kegembiraan ditelan untuk belajar,
menghapal, memahami dan mengerti berbagai paket pengetahuan, dari pagi hinga
sore mirip pekerja pabrik menghabiskan waktunya di ruang kelas untuk menelan
pelajaran yang dalam banyak hal tidak menyenangkan. Seorang peneliti pendidikan
menulis di harian Kompas (17 /8/2003)
menurut temuannya rata-rata setiap murid SD kelas 3 sampai kelas 6 dalam setiap
kuartal mempelajari sejumlah buku yang ketika ditimbang beratnya 43 kilogram,
melebihi berat badan murid SD sendiri. Beban pelajaran ini kemudian diteskan
lewat serangkaian ujian yang hasilnya kemudian dimuat dalam rapor yang
penilaiannya berupa angka atau huruf. Parahnya, nilai kemanusiaan anak itupun
direlevankan dengan nilai raport, semakin tinggi nilai raport maka akan semakin
naik pula kemuliaan dan harga diri anak didik, orangtua dan gurunya. Korban
dari sistem ini adalah eksistensi individu yang pada dasarnya memiliki
kebebasan. Proses pendidikan yang
seharusnya, sebagaimana makna sejatinya yakni menggiring keluar atau
membebaskan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu belumlah
terwujud. Yang ada justru pendidikan yang hanya menghasilkan airmata
(Shindunata,2000).
Kesimpulan
Kutipan dari Ghibran diatas, mengajak para orangtua dan para pendidik
secara umum untuk mengubah pandangan mereka tentang anak. Anak adalah
putra-putri kehidupan para pemilik masa depan. Mereka harus dipersiapkan dengan
dikasihi dan dididik menjadi diri mereka sendiri agar tumbuh dewasa dan
mandiri. Anak-anak mesti dibiasakan sejak dini dari hidupnya untuk selalu
belajar kepada siapa dan dimana saja, mencari dan menemukan. Agar ia bisa
memilih dirinya, bisa menentukan ungkapan pribadinya, agar tidak lagi
mengatakan, “Inilah dada bapakku” tetapi secara tegas berani mengatakan”Inilah
dadaku!”, begitu seharusnya seorang anak, kata Imam Ali As.
Seperti yang dipertanyakan juga oleh Emha Ainun Nadjib, dunia anak-anak itu
ada mengapa kita tiadakan?
Ismail Amin, sementara menetap di Qom.