Posted by : ismailamin Selasa, 14 Juli 2015

“Itu adalah sebahagian dan berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih terlihat bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah” (Q.S. Hud :100).

Jika membaca sejarah Anbiyah As dan kaumnya, maka yang paling tragis akhir hidupnya adalah kaum Sodom. Kemaksiatan yang mereka lakukan tidak pernah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya, itu sebabnya azab yang menimpa juga sedemikian dasyhatnya. Dosa mereka adalah, yang laki-laki mendatangi [berhubungan badan dengan] laki-laki dan yang perempuan mendatangi perempuan, dalam bahasa sekarang kita menyebutnya, mereka melakukan praktik homo seksual dan lesbian.

Allah Swt telah menciptakan manusia dari dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, yang kemudian dari keduanya [setelah melakukan interaksi seksual yang paling intim] lahirlah keturunan-keturunannya. Jadi seks bukan hanya melulu menyangkut kenikmatan dan kesenangan syahwat saja, melainkan memiliki tujuan yang luhur, yaitu melanjutkan generasi manusia. Karena tujuan yang luhur itu pula, interaksi seksual harus sebelumnya diikat dalam ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Seks dalam agama Islam adalah sesuatu yang mulia, agung dan suci sehingga tidak bisa dilakukan serampangan dan tanpa aturan.

Kaum Sodom menerjang batasan-batasan itu. Mereka bukan hanya melakukan hubungan seksual diluar ikatan pernikahan namun juga melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, sebuah perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat-umat sebelum mereka. Nabi Luth As sampai harus diutus untuk mengingatkan mereka, agar meninggalkan perbuatan keji itu.  Bahkan dari salah satu fragmen perjalanan dakwahnya, Nabi Luth As sampai harus terpaksa menawarkan putri-putrinya agar dinikahi, daripada kalangan laki-laki kaum Sodom tetap bergelimang dosa besar tersebut [baca Qs. al-HIjr: 71]. Menawarkan putrinya untuk dinikahi adalah usaha terakhir Nabi Luth As untuk mengembalikan kaumnya pada fitrah. Semua usaha yang mungkin telah ia jalankan. Ia tuntaskan dakwahnya dengan hendak mengorbankan putrinya [yang tentu perempuan baik-baik] dan perasaannya sebagai seorang ayah yang begitu menyayangi putrinya, asal kaumnya bisa kembali ke jalan yang benar.

Sayang, tawaran itupun ditampik. Kaum Sodom tetap cenderung pada kesenangan yang diharamkan, tetap cenderung pada sesama jenisnya. Agar penyimpangan mereka tidak menyebar ke kaum yang lainnya, maupun generasi setelahnya, maka satu-satunya jalan, adalah Kaum Sodom harus dihabisi sampai tak bersisa. Tetap pada kedurhakaan adalah pilihan mereka sendiri, setelah sekian lama Nabi Luth As mendakwahi mereka. Bahkan balasan yang didapat Nabi Luth As adalah cacian, permusuhan dan ancaman pengusiran. Iapun disebut sok suci karena menentang apa yang Kaum Sodom nikmati.

Silahkan baca kisahnya dalam surah Huud ayat 77 sampai 83. Sangat dramatis, ketika malaikat meminta Nabi Luth meninggalkan kota lewat tengah malam, karena subuh harinya, kota itu akan dihancur leburkan. Allah Swt memilih menurunkan azabnya di waktu subuh, karena saat itu semua penduduk kota dalam keadaan lalai, yaitu masih dalam keadaan tertidur, sehingga tidak satupun dari mereka yang bisa sempat untuk menyelamatkan diri. Karena memang niatnya turun azab itu, agar mereka semua musnah tak bersisa, terkubur bersama dosa-dosa mereka.

Nabi Luth As beserta keluarga dan pengikutnya yang tidak seberapa bergegas meninggalkan kota. Kecuali istrinya, karena memang memilih tinggal. Tepat diwaktu subuh, azab Allah Swt pun datang dengan azab yang tidak pernah menimpa kaum sebelum mereka, tidak juga kaum setelahnya. Kota Sodom dibalikkan, yang diatas ke bawah, dan tidak cukup dengan itu. Kota itu juga diterjang dengan batu yang terbakar dengan bertubi-tubi dari langit.
Tamatlah kisah kaum Sodom. Hanya menyisakan pelajaran, betapa syahwat yang diperturutkan tanpa mengindahkan rambu-rambu Ilahi hanya akan melahirkan kedurhakaan dan pembangkangan.

Saking kejinya perilaku homo seksual dan lesbian, Allah Swt sampai harus mengirimkan azab yang sedemikian dasyhat. Fir’aun yang bahkan mengaku tuhan dan telah melakukan kerusakan besar di muka bumi dengan pembunuhan dan kezaliman, ‘hanya’ dimusnahkan melalui proses tenggelam di laut merah, tidak sampai harus merasakan terjangan batu api yang bertubi-tubi dari langit, demikian pula dengan kaum Nabi Nuh As. Abrahah dan pasukannya, yang hendak menyerang Ka’bah dan meratakannya dengan tanah, dimusnahkan ‘hanya’ dengan lontaran kerikil-kerikil yang merusak tubuh mereka, tidak sampai harus merasakan dasyhatnya gempa dan bagaimana bumi itu di balik.

Istri Nabi Luth As, bukanlah pelaku dan bagian dari Kaum Sodom yang berbuat keji itu, namun ia tidak menunjukkan kebencian dan penolakan terhadap kelakuan Kaum Sodom yang menyimpang. Bahkan, meski azab sudah didepan mata, ia tetap memilih tinggal, untuk menunjukkan konsistensinya membela hak Kaum Sodom untuk menuntaskan naluriah seksualnya pada sejenisnya. Kalau sekiranya, ia ada sekarang, mungkin termasuk aktivis yang mendukung legalisasi pernikahan antar sejenis, meski tidak termasuk yang mempraktikkannya. Namun, di sisi Allah Swt, sekedar mendukung pun sudah dimasukkan dalam golongan yang berbuat keji itu, sehingga istri Nabi Luth As termasuk yang merasakan pedih dan dasyhatnya azab Allah Swt.

Sayang, termaktubnya kisah dimusnahkannya kaum Sodom yang durhaka tanpa sisa didalam kitab-kitab suci agama Samawi sebagai pelajaran, dengan maksud tidak ada lagi generasi setelahnya yang melakukan hal keji yang serupa, oleh sebagian orang menjadi tidak ubahnya cerita dongeng pengantar tidur. Meski mengimani kisah tersebut, atas nama pembelaan terhadap HAM mereka terang-terangan memberikan dukungan terhadap legalisasi pernikahan sejenis.

Mari melakukan sebagaimana yang dilakukan Nabi Luth As atas mereka, yaitu meningatkan, mendakwahi, meluruskan, mencegah dan menyelamatkan mereka yang memiliki kecenderungan seksual terhadap sesama jenis dan bagi yang telah terjebak didalamnya yang dilakukan adalah menyembuhkannya, bukan membiarkannya. Mendukung legalisasi pernikahan sejenis itu tidak ubahnya mendorong mereka untuk jatuh lebih dalam pada jurang kesalahan. Membiarkan orang lain tetap pada penyimpangannya, bukanlah pengejewantahan dari cinta melainkan ketidakpedulian.

Sebaliknya pula, sebelum melakukan serangan verbal yang penuh kebencian, mengumpat dan memaki para pelaku homoseksual maupun yang mendukungnya, dan melecehkan mereka dengan sebutan-sebutan yang keji harusnya bertanya, apa usaha yang telah dilakukan untuk menyelamatkan dan meluruskan mereka telah maksimal?. Ataukah umpatan itu menunjukkan ketidakmampuan meneladani Nabi yang mendakwahi mereka sampai puluhan tahun lamanya?.

Ketika membaca ayat ini, saya merasakan ada kepedihan dan amarah yang tertahan didalamnya ketika terlontar dari lisan suci Nabi Luth As, “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah … Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?" [Qs. Huud: 78]. Tentu sangat berat mengucapkan itu. Tapi tidak ada lagi jalan lain bagi Nabi Luth As kala itu. Itu adalah upayanya yang paling penghabisan, menawarkan putrinya untuk dinikahi  laki-laki keji agar mau meninggalkan perbuatan keji itu. 

Mari bertanya, apa yang telah kita lakukan untuk saudara kita, yang terjebak pada dosa besar ini?. Apa pengorbananmu untuk mereka sebelum kau menjatuhkan vonis ancaman mati?. Perlu diketahui, tidak sedikit dari mereka yang terjebak pada ‘kenikmatan’ itu bukan karena keinginannya dari awal, tapi juga menjadi korban pelecehan seksual di masa lalunya.

Sama dengan jasad Fir’aun yang dibiarkan utuh oleh Allah Swt, sejumlah jasad dari penduduk kota Pompeii [yang juga melakukan penyimpangan seksual sebagaimana Kaum Sodom] pun tetap awet sampai saat ini, untuk menjadi pelajaran bagi umat-umat setelahnya.

Tidak jugakah kita mau belajar?.

Ismail Amin, sementara menetap di Qom Iran

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Tentang Saya

Foto saya
Lahir di Makassar, 6 Maret 1983. Sekolah dari tingkat dasar sampai SMA di Bulukumba, 150 km dari Makassar. Tahun 2001 masuk Universitas Negeri Makassar jurusan Matematika. Sempat juga kuliah di Ma’had Al Birr Unismuh tahun 2005. Dan tahun 2007 meninggalkan tanah air untuk menimba ilmu agama di kota Qom, Republik Islam Iran. Sampai sekarang masih menetap sementara di Qom bersama istri dan dua orang anak, Hawra Miftahul Jannah dan Muhammad Husain Fadhlullah.

Promosi Karya

Promosi Karya
Dalam Dekapan Ridha Allah Makassar : Penerbit Intizar, cet I Mei 2015 324 (xxiv + 298) hlm; 12.5 x 19 cm Harga: Rp. 45.000, - "Ismail Amin itu anak muda yang sangat haus ilmu. Dia telah melakukan safar intelektual bahkan geografis untuk memuaskan dahaganya. Maka tak heran jika tulisan-tulisannya tidak biasa. Hati-hati, ia membongkar cara berpikir kita yang biasa. Tapi jangan khawatir, ia akan menawarkan cara berpikir yang sistematis. Dengan begitu, ia memudahkan kita membuat analisa dan kesimpulan. Coba buktikan saja sendiri." [Mustamin al-Mandary, Penikmat Buku. menerjemahkan Buku terjemahan Awsaf al-Asyraf karya Nasiruddin ath-Thusi, “Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa” diterbitkan Pustaka Zahra tahun 2003]. Jika berminat bisa menghubungi via SMS/Line/WA: 085299633567 [Nandar]

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ismail Amin -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -