Archive for Februari 2016
Dilegalkannya
secara resmi bolehnya pernikahan sejenis oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat
yang disambut positif Presiden AS Barack Obama pada pertengahan tahun 2015
sampai saat ini belum juga usai menuai kontroversi. AS adalah negara ke-21 yang
yang mengesahkan pernikahan sesama jenis, dan tidak sedikit aktivits pro LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual dan Trangender) di Indonesia dengan membawa-bawa HAM
dan demokrasi menuntut penerapan dan aturan yang sama turut diberlakukan di
Indonesia.
Meski belum
secara tegas hukum positif di Indonesia mengkriminalisasi aktivitas
homoseksual, namun sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim tuntutan
dilegalkannya pernikahan sejenis mendapat penentangan keras. Tuntutan tersebut
dinilai bertentangan dengan nilai-nilai dan norma kesusilaan yang diatur dalam
agama Islam. Negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim lainnya, telah
memiliki aturan tegas mengenai larangan tersebarnya aktivitas LGBT bahkan
mendapat ancaman hukuman dan sanksi yang berat bagi pelaku maupun yang
mengkampanyekan legalitasnya, tidak terkecuali di Republik Islam Iran.
Iran yang
mengambil inspirasi dari pesan-pesan Islam dalam penerapan hukum positif yang
diberlakukan di negara tersebut, secara tegas dan gamblang menyebutkan pelarangan
dan ilegalnya aktivitas seksual sesama jenis (Lesbian, Gay dan Biseksual)
sementara masalah transseksual, Iran memiliki aturan khusus. Untuk aktivitas
hubungan sesama jenis, masyarakat Iran menyebutnya, amalan yang sangat dibenci
(عمل شنیع).
Pada pasal
234 Qanun (Undang-undang) Iran (revisi 2014) berkenaan dengan masalah gay menyebutkan,
pelaku sodomi (liwath) yang disertai kekerasan dan pemaksaan dan terikat dengan
pernikahan akan dikenai hukuman mati, diluar itu akan dikenai hukuman seratus
kali cambukan. Sementara bagi pasangan liwath, ada tidaknya ikatan pernikahan
dan tidak ada unsur pemaksaan akan dikenai hukuman mati. Sementara jika
melakukan aktivitas-aktivitas sensual tanpa disertai penetrasi pada lubang
dubur maka keduanya akan dikenai hukuman seratus kali cambukan dan jika
mengulangnya sampai 3 kali, maka untuk yang keempat kalinya akan dikenai
hukuman mati.
Pada pasal
237 menyebutkan pasangan gay tanpa disertai aktivitas seksual maupun yang
bersifat sensual, akan dikenai sanksi 31 sampai 74 kali cambukan. Sementara
pada kasus lesbian, UU Iran pasal 239 menyebutkan pasangan lesbian akan dikenai
hukuman 100 kali cambukan, dan untuk yang keempat kalinya, akan dikenai hukuman
mati.
Untuk
pelaku biseksual, hanya dibolehkan menikah dengan lawan jenisnya, dan jika
melakukan aktivitas seksual sesama jenis maka hukuman yang didapat sebagaimana
UU yang telah ditetapkan untuk hubungan sesama jenis.
Pemberlakuan
hukuman mati untuk hubungan seksual sesama jenis di Iran, telah sering mendapat
sorotan tajam dari negara-negara yang melegalkannya khususnya dari komunitas pro LGBT diseluruh
dunia. Mereka menuntut agar pelaku gay dan lesbian juga mendapatkan hak yang
sama untuk menyalurkan kecenderungannya. Meski mendapat stigma negatif sebagai
negara pelanggar HAM, Iran tetap tidak bergeming. Herannya, bukannya mendukung,
sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai aktivis Islam yang paling nyunnah dan paling anti homoseksual,
malah menyebar hoax, di Iran aktivitas homoseksual dilegalkan. Ahmadi Nejad, diantara Presiden Iran yang
kerap mendapat hujatan dan hujan protes, karena tegasnya dia dalam memberlakukan
hukuman mati terhadap gay dan lesbian.
Pandangan
Hukum Positif Iran Mengenai Transseksual
Transseksual
adalah orang yang menginditifikasinya dirinya sebagai pemilik jenis kelamin
tertentu yang jenis kelamin itu berbeda dengan yang ditentukan atas dirinya
pada saat lahir, dan dia memiliki keinginan untuk hidup dan diterima
sebagaimana identifikasinya dirinya. Misalnya seseorang yang divonis berjenis
kelamin laki-laki pada saat lahir, namun pada perkembangan selanjutnya, sifat
dan karakternya lebih didominasi sifat-sifat feminim yang cenderung hanya
dimiliki perempuan. Menurut hukum positif Iran (yang disertai fatwa Imam
Khomeini), orang transseksual dapat melakukan transisi gender. Pasca melakukan
transisi gender, seseorang tidak lagi mengidentifikasi dirinya sebagai
transseksual melainkan telah memilih salah satunya, sebagai laki-laki atau
sebagai perempuan. Karena itu di Iran, tidak dikenal istilah waria
(wanita-pria).
Untuk
melakukan proses transisi gender (pergantian jenis kelamin) diterapkan aturan yang
sangat ketat dan melalui beberapa tahap.
Orang
transseksual dibagi atas dua kelompok:
Pertama,
kelompok yang secara fisik memiliki dua jenis kelamin. Pada kelompok ini, maka
penentuan jenis kelamin menurut hukum Iran harus dilakukan, setelah sebelumnya
dipastikan oleh medis, jenis kelamin yang lebih mendominasi.
Kedua, kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai pemilik
jenis kelamin tertentu yang tidak sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya
secara fisik. Secara fisik laki-laki namun mengidentifikasi diri sebagai
perempuan begitupun sebaliknya.
Pra revolusi, Iran tidak memiliki
hukum dan aturan khusus mengenai transisi gender. Aturan mengenai transisi
gender baru diberlakukan pada tahun 1982, 3 tahun pasca berdirinya Republik
Islam Iran setelah mendapat persetujuan dari para Fukaha Syiah.
Diantara tahapan-tahapan yang harus
dilalui untuk melakukan operasi pergantian jenis kelamin:
Pertama, dipastikan bahwa adanya
kecenderungan transseksual pada diri seseorang dengan mendapat minimal
pengakuan dari dua psikiater/psikolog.
Kedua, mengajukan permohonan
berganti jenis kelamin kepengadilan.
Ketiga, memeriksakan diri ke lab kesehatan
dan mendapat rekomendasi dari dokter dan pihak kementerian kesehatan untuk
dilakukan operasi bedah pergantian jenis kelamin.
Keempat, setelah melakukan tahapan
operasi secara sempurna, maka kementerian hukum dan peradilan akan mengeluarkan
keterangan mengenai identitas baru (termasuk perubahan nama) si pemohon.
Menurut fukaha Syiah, untuk
melakukan operasi pergantian jenis kelamin, setidaknya harus dipenuhi dua
syarat berikut:
Pertama, sudah dipastikan seseorang
mengidap transseksual tanpa sedikitpun keraguan. Namun jika masih diragukan,
maka tidak dibolehkan mengganti jenis kelamin.
Kedua, operasi pergantian jenis
kelamin harus dilakukan secara sempurna. Jika perempuan berganti jenis kelamin,
maka secara utuh dia telah berubah menjadi laki-laki, begitupun laki-laki yang
telah melakukan operasi penentuan ulang jenis kelamin, maka setelahnya ia harus
utuh sebagai perempuan.
Menurut ketentuan Iran, negara harus menanggung minimal separuh dari keseluruhan biaya operasi pergantian jenis kelamin, dan bagi yang tidak berkemampuan, bisa mengajukan permohonan untuk biaya operasi ditanggung sepenuhnya oleh negara.
Dengan ketentuan tegas ini, rakyat
Iran tidak perlu berlarut-larut dalam masalah perlu tidaknya didirikan
pesantren waria, hukum waria menjadi imam shalat jama’ah dan hal-hal lainnya
yang sering menjadi kontroversial di Indonesia dengan keberadaan komunitas
waria, sebab di Iran hanya ada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Ismail Amin
WNI sementara menetap di Iran
Sumber:
*Mahvesh Fathi, MH, Hamjensgeray
dar Huquq_e Iran, Merkhane, 2014
*Mahdi Baqir Zadeh, Tagyir_e Jinsiyat
az Didgah_e Huquq_e Iran, blogway.com.
*Al-Muhaqqiq al-Hilli, Syara’I al-Islam
di Masail al-Halāl wa al-Harām, jld. 4.
*http://www.rozanehonline.com
*http://www.asriran.com/
Adanya
komitmen untuk membantu para imigran (pencari suaka) dan kemudahan untuk mendapat kewarganegaraan menjadikan Australia tujuan
para imigran dari berbagai negara. Terlebih lagi, Australia negara terbaik
kedua setelah Norwegia dari sisi komitmen pemerintah dalam meningkatkan
kualitas rakyatnya. Kualitas kehidupan di Australia sangat baik, baik dari sisi
keamanan, ketersediaan fasilitas publik, pendidikan, maupun ketersediaan
lapangan pekerjaan dengan insentif yang cukup besar. Wajar kemudian jika
negara-negara yang sedang dilanda konflik berlarut-larut ataupun karena faktor
ekonomi dan kesulitan hidup, sebagian kecil warganya berhasrat untuk bisa
menetap di Australia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Diantara
warga negara yang mencari suaka ke Australia adalah Afghanistan, Pakistan, Irak
dan Suriah yang lebih didominasi karena faktor keamanan dinegara mereka yang
dilanda konflik, sementara imigran asal Myanmar, Bangladesh, Srilanka, Sudan,
Somalia dan lain-lain lebih disebabkan karena faktor ekonomi.
Namun,
ada fenomena menarik, dan sering dijadikan isu untuk menghantam Iran, yaitu
keberadaan tidak sedikit warga Iran yang juga ikut mencari suaka ke Australia.
Alasannya
apa?
Bukankah
selama ini digembar gemborkan serta dicitrakan Iran sebagai negara di Timur
Tengah yang mengalami banyak kemajuan diberbagai bidang? Lantas apa arti
kemajuan dan berbagai prestasi keilmuan yang dicapai Iran tersebut kalau
ternyata gagal mensejahterahkan rakyatnya? Artinya kemajuan dan penemuan Iran yang canggih-canggih itu hoax dong?.
Ratusan warga Iran juga ikut berdesak-desakan dengan warga asal Irak, Afghanistan dan Pakistan dalam sebuah perahu kecil, yang mengadu nasib dalam pelayaran ke Australia. Kalau ketiga negara yang disebut itu, memang wajar jika warganya minta suaka, karena memang negaranya lagi dilanda konflik, kalau Iran?. Dengan adanya imigran dari Iran, artinya Iran tidak aman-aman amat dong?.
Apakah Iran juga termasuk negara miskin yang gagal mensejahterahkan rakyatnya sehingga warganya ikut diseret dan berurusan dengan urusan imigrasi karena ingin secara illegal masuk Australia bersama warga dari Bangladesh dan Somalia?.
Ratusan warga Iran juga ikut berdesak-desakan dengan warga asal Irak, Afghanistan dan Pakistan dalam sebuah perahu kecil, yang mengadu nasib dalam pelayaran ke Australia. Kalau ketiga negara yang disebut itu, memang wajar jika warganya minta suaka, karena memang negaranya lagi dilanda konflik, kalau Iran?. Dengan adanya imigran dari Iran, artinya Iran tidak aman-aman amat dong?.
Apakah Iran juga termasuk negara miskin yang gagal mensejahterahkan rakyatnya sehingga warganya ikut diseret dan berurusan dengan urusan imigrasi karena ingin secara illegal masuk Australia bersama warga dari Bangladesh dan Somalia?.
Tulisan
ini, mencoba untuk memberikan jawabannya.
Iran
sejak tahun 1979 dengan runtuhnya kekuasaan Pahlevi yang menandai berakhirnya
kekuasaan Imperium Persia, berubah menjadi republik yang mendasarkan sistem pemerintahannya
atas asas Islam, yang kemudian bernama Republik Islam Iran. Meski mayoritas rakyat Iran setuju dengan
sistem baru tersebut, tentu ada juga minoritas yang tidak setuju. Yang
minoritas ini, dengan penolakannya atas sistem Islam, tentu mendambakan
kehidupan sebagaimana Iran pra revolusi yang memberlakukan gaya Barat, yang tidak perlu secara ketat diikat
oleh aturan-aturan agama dalam urusan publik. Karena itu, mereka membutuhkan alternatif
untuk bisa menjalani kehidupan yang mereka mau sembari tetap hidup layak, mapan
dan semestinya. Tidak sedikit kemudian memang meninggalkan Iran, termasuk sisa-sisa
keluarga Pahlevi dan pendukungnya. Mereka kemudian menetap di Inggris, AS dan
sejumlah negara Eropa lainnya, sampai kemudian secara resmi menjadi warga negara
di negera-negara tersebut.
Keterbukaan
Australia memberi suaka dan menerima imigran, memicu ketertarikan sejumlah
warga Iran untuk mengadu nasib ke Australia. Meski hidup mapan di Iran,
Australia yang menerapkan sekulerisme dan style hidup bebas memiliki daya tarik
tersendiri.
Kesediaan
Australia membantu imigran dan peminta suaka, tentu tidak asal begitu saja. Mereka menerapkan aturan penerimaan,
melalui wawancara dan uji skill yang bertahap. Mereka yang mendaftar harus
antri, bahkan sampai bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan giliran. Ketidak
sabaran untuk menunggui giliran itulah yang membuat, sejumlah imigran nekat
untuk tetap masuk ke Australia secara illegal, tidak terkecuali sedikit dari
warga Iran.
Dari
situs http://www.irdiplomacy.ir/,
mengungkap data tahun 2013, 17.272 imigran gelap yang masuk Australia secara illegal
dan ada sekitar 6.500 berasal dari Iran. Situs resmi Iran tersebut juga
menyebutkan, setiap tahunnya ada 2000 warga Iran yang pindah ke Australia secara
legal dan resmi dan saat ini sekitar 30.000 orang Iran menetap di Australia
yang telah mendapat permanen resident dan telah beralih kewarganegaraan. Orang-orang
Iran yang berhasil hidup mapan di Australia inilah yang kemudian membuat
blog-blog pribadi, akun-akun medsos dst yang menshare kisah-kisah mereka
mengenai betapa nyamannya dan nikmatnya mereka hidup di Australia. Mereka
bercerita mengenai betapa bebasnya mereka mengenakan pakaian apapun yang mereka
mau, tidak sebagaimana di Iran dengan gaya hidup yang ‘kolot’ sampai harus
diwajibkan mengenakan cadur (pakaian muslimah khas Iran) segala. Betapa
asyiknya menonton pertandingan sepak bola langsung di stadion, tidak
sebagaimana di Iran yang menerapkan larangan perempuan masuk stadion sepak bola
laki-laki. Inilah yang memancing, warga Iran yang memang sejak awal tidak pro
republik Islam untuk meninggalkan Iran.
Lantas,
mengapa pemerintah Iran membiarkan warganya meninggalkan Iran dan beralih
kewarganegaraan?.
Pertama,
hak warga untuk menjadi warga negara manapun yang dia mau, selama memenuhi
syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Kedua,
Iran tidak bisa memaksa warganya yang ‘ogah’ diatur untuk tetap berada di Iran
dan hidup di Iran dengan keterpaksaan.
Bagaimana
dengan imigran gelap dari Iran?
Pertama,
Iran memperketat aturan pemberian visa
keluar negeri sebagai upaya meminimalisir imigran gelap.
Kedua,
keberadaan sindikat perdagangan tenaga kerja manusia, dengan jaringan yang kuat
diberbagai negara, membuat Iran tetap kecolongan, sehingga tetap saja ada
warganya yang keluar secara illegal melalui cara-cara yang bahkan
mempertaruhkan nyawa, menjadi manusia perahu. Keberadaan sindikat ini pula yang
merepotkan pemerintah Indonesia, sebab para imigran gelap itu menjadikan
Indonesia sebagai tempat transit untuk ke Australia.
Ditahannya
sejumlah imigran gelap Iran oleh kepolisian Indonesia, dan adanya fakta warga
Iran juga termasuk dalam fenomena manusia perahu, menjadi isu yang ‘digoreng’
sejumlah pihak untuk mencitrakan Iran gagal mensejahterahkan penduduknya.
Bahkan manusia perahu dari Iran dikait-kaitkan bahwa mereka adalah warga Sunni
Iran yang nekat melarikan diri karena mendapatkan perlakuan diskriminasi dan
ketertindasan dari rezim Iran yang Syiah. Meski kemudian itu diralat, karena
orang-orang Iran yang mereka klaim Sunni itu malah menjadi pengedar narkoba dan
pelaku kriminil di Indonesia.
Jumlah
penduduk Iran 78 juta jiwa. Sementara yang ‘melarikan diri’ ke Australia, total
tidak sampai 100 ribu orang. Yang memilih keluar dari Iran tidak sampai 0,5
persen dari jumlah total penduduknya. Bukan hal yang perlu dikhawatirkan oleh
pemerintah Iran sendiri, terlebih lagi yang ‘lari’ itu adalah orang-orang yang
memang tidak mau diatur oleh syariat Islam yang diberlakukan di Iran. Tugas pemerintah adalah membuat nyaman dan menjamin keamanan, bukan memuaskan semua orang.
Tetap mau ngotot mengklaim mereka orang-orang Sunni yang mendapat diskriminasi di Iran? ^_^
Tetap mau ngotot mengklaim mereka orang-orang Sunni yang mendapat diskriminasi di Iran? ^_^
Ismail Amin, sementara menetap di Iran
Foto-foto berikut akan membantu anda untuk lebih mudah memahami tulisan diatas:
keluarga Iran yang menetap di Australia dan telah berganti kewarganegaraan
WN Australia asal Iran turut meramaikan People's Day Australia
WN Australia asal Iran turut berbelasungkawa atas tragedi teror di Sidney. Perhatikan bendera yang mereka bawa, itu bendera Iran masa Pahlevi. Menunjukkan mereka belum "move on" Iran sekarang sudah berubah menjadi Republik Islam.
Radio berbahasa Persia di Australia untuk menghibur WN Australia asal Iran
WN Australia asal Iran yang tetap mendukung timnas Iran pada AFC di Australia
Ali
Reza Haghigi, atlit sepakbola Iran berfoto dengan WN Australia asal Iran pada momen AFC di Australia
Berikut sejumlah foto, manusia perahu asal Iran, lihat dari stylenya, apa ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa manusia perahu asal Iran ini lari dari negaranya karena miskin dan melarat?
Adab Membaca Al-Qur’an menurut Al-Qur’an dan Sunnah Maksumin As
Jumat, 12 Februari 2016
Posted by ismailamin
Tag :
Al-Qur'an
Al-Qur’an adalah Kalamullah (firman-firman Allah Swt) yang menjadi mukjizat kenabian terakhir Nabiullah Muhammad Saw yang menyempurnakan dan menjadi pelengkap kitab-kitab Samawi sebelumnya. Sebagai penyempurna, kitab suci terakhir yang memuat ajaran-ajaran Ilahiah yang berlaku sampai akhir zaman, maka sudah semestinya Al-Qur’an menjadi kitab suci yang bebas dari segala bentuk tahrif (perubahan). Allah Swt sendiri menjamin kesucian Al-Qur’an dari berbagai bentuk perubahan, baik penambahan maupun pengurangan dengan berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr: 9). Kesucian Al-Qur’an dari perubahan adalah keyakinan semua umat Islam sejak generasi awal sampai hari ini, sementara pandangan yang menyebutkan Al-Qur’an mengalami perubahan baik itu berupa penambahan maupun pengurangan, maka itu pandangan yang batil dan bertentangan dengan aqidah Islamiyah sendiri. Syaikh Shaduq rahimahullah, salah seorang ulama besar Syiah (w. 381 H) dalam kitabnya “Al-I’tiqād fi Din al-Imāmiyah” halaman 59 menulis, “Akidah kami (penganut mazhab Imamiyah) mengenai Al-Qur’an yang diturunkan untuk Nabi Muhammad Saw, tidak mengalami sedikitpun perubahan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami meyakini Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw lebih banyak dari Al-Qur’an yang ada saat ini, maka dia adalah pendusta.”
Setiap yang mengaku muslim, tidak ada satupun yang tidak pernah bersentuhan dengan Al-Qur’an disepanjang hidupnya. Mencintai Al-Qur’an adalah bagian dari hidup seorang muslim yang tidak terpisahkan. Sejak lahir, dikeluarga muslim, sang bayi akan diperdengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an pada saat ia diaqiqah atau momen hari kesyukuran atas kelahirannya. Ketika hadir di majelis-majelis yang memperingati hari-hari penting Islam (Maulid, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan lain-lain). Ketika bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam Qadr, membacanya dalam shalat, ketika malam dan hari Jum’at, membaca di rumah-rumah, di pesta pernikahan, membacanya didalam perjalanan atau paling minimal, sengaja menghafal surah-surah pendek untuk mengusir syaitan dan menolak bala. Intinya, betapa Al-Qur’an dengan hidup seorang muslim itu sangat dekat, sehingga mushaf Al-Qur’an menjadi properti yang wajib ada disetiap rumah kaum Muslimin, yang semuanya meyakini, membaca Al-Qur’an mengandung fadhilah/keutamaan yang sangat besar.
Untuk lebih mendapatkan manfaat Al-Qur’an dan fadhilah yang lebih besar ketika membacanya, ada baiknya kita memenuhi adab-adab dalam membaca Al-Qur’an sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an sendiri dan sebagaimana yang disampaikan oleh Nabiullah Muhammad Saw dan para Aimmah As.
Keutamaan Membaca Al-Qur’an
Untuk memotivasi diri agar termasuk golongan yang akrab dengan Al-Qur’an, maka yang terlebih dahulu dilakukan, adalah mengetahui fadhilah dan keutamaan membaca Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an adalah perintah langsung dari Allah Swt, yang menunjukkan adanya hikmah besar yang terkandung dibalik perintah tersebut. Allah Swt berfirman. “فَاقْرَؤُوا ما تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ” Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. (Qs. Al-Muzammil: 20). Prinsip ibadah yang diperintahkan dalam Islam, adalah semakin mudah amalan yang diperintahkan, semakin menunjukkan pentingnya dan besarnya keutamaan ibadah tersebut di sisi Allah Swt. Shalat misalnya, Allah Swt memberikan kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaannya, jika tidak bisa berdiri, maka dibolehkan melaksanakannya dengan duduk, berbaring dan seterusnya. Jika tidak bisa menggunakan air yang disebabkan kondisi tertentu, maka dibolehkan bertayammum. Kemudahan-kemudahan tersebut diberikan, karena Allah Swt menghendaki agar amalan shalat tidak ditinggalkan disebabkan besarnya fadhilah yang terkandung di dalamnya. Shalat adalah amalan pertama di hari dihisabnya amal-amal dan shalat pulalah yang menjaga keterikatan batin seorang hamba dengan Khaliknya. Demikian juga dengan membaca Al-Qur’an. Allah Swt memerintahkan agar membaca yang mudah dari Al-Qur’an, agar membaca Al-Qur’an tersebut jangan sampai ditinggalkan. Allah Swt berfirman, “. Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan. Adakah orang yang mau ingat?” (Qs. Al-Qamar: 17). Membaca Al-Qur’an adalah tarikat untuk senantiasa mengingat Allah Swt dalam setiap keadaan.
Fadhilah lainnya dari membaca Al-Qur’an sebagaimana yang disampaikan Nabiullah Muhammad Saw kepada sahabatnya, Salman al Farisi Ra. Nabi Saw bersabda, “Wahai Salman, bacalah Al-Qur’an, karena bacaan Al-Qur’an dapat menjadi kafarah/pelebur dosa-dosa, menjadi hijab/penghalang antara manusia dengan api neraka dan menjadi penyebab amannya seseorang dari azab Ilahi.” (Bihār al-Anwār, jld. 89, hlm. 17).
Ketika Nabi Muhammad Saw ditanya mengenai amalan yang dapat menjaga dan meningkatkan keimanan kepada Allah Swt, beliau Saw menjawab, “Bacalah Al-Qur’an pada setiap keadaan.” (Bihār al-Anwār, jld. 66, hlm. 392).
Mengenai keutamaan membaca Al-Qur’an, Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Al-Qur’an adalah surat yang dikirim Allah Swt untuk hamba-hambaNya. Karenanya sudah semestinya setiap Muslim membacanya minimal 50 ayat setiap harinya.”
Waktu-waktu yang Utama untuk Membaca Al-Qur’an
Allah Swt memberikan pahala setiap seorang muslim membaca Al-Qur’an, kapanpun itu. Namun Allah Swt menyampaikan adanya waktu-waktu yang khusus yang ketika membaca Al-Qur’an di waktu-waktu itu pahala dan keutamaannya jauh lebih besar. Diantara waktu-waktu utama untuk membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Bulan Ramadhan
Imam Baqir As berkata, “Segala sesuatu memiliki musim semi, dan musim semi Al-Qur’an adalah bulan Ramadhan.” (Wasail al-Syiah, jld. 4, hlm. 852).
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu ayat dari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, seperti seseorang yang membaca keseluruhan Al-Qur’an pada bulan-bulan lainnya.” (Amali Shaduq, hlm. 95).
Dari sabda Rasulullah Saw diatas menunjukkan besarnya perbandingan antara membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dengan bulan selainnya. Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam bulan Ramadhan disamakan pahala dan kedudukannya dengan membaca satu Al-Qur’an penuh yang dibaca diluar bulan Ramadhan. Belum lagi ketika membacanya pada malam al-Qadr, salah satu malam di bulan Ramadhan yang beribadah di dalamnya lebih utama dari ibadah selama 1000 bulan, maka tentu keutamaannya jauh lebih berlipat ganda lagi.
Setelah Melaksanakan Shalat Wajib
Disunnahkan dan sangat diutamakan bagi setiap muslim sehabis mendirikan shalat 5 waktu yang wajib untuk berzikir, berdoa dan membaca Al-Qur’an. Hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan amalan ini dirangkum dalam kitab ‘Urwatu al-Wutsqa, jilid 1 halaman 332. Dan juga para ulama marja taklid sangat menekankan hal ini karena besarnya keutamaan membaca Al-Qur’an sehabis mendirikan shalat fardhu. Diantara karakteristik muslim Syiah sebagaimana yang dijabarkan Imam Shadiq As, adalah membaca minimal 50 ayat Al-Qur’an setiap harinya. Karena itu para ulama menganjurkan, jika terjebak dalam kesibukan harian, dan untuk mempermudah maka setidaknya membaca 10 ayat Al-Qur’an setiap habis mendirikan shalat 5 waktu, sehingga dalam sehari semalam, sunnah membaca 50 ayat Al-Qur’an tidak ditinggakan.
Disepertiga Malam
Membaca Al-Qur’an dipertigaan malam mengandung keutamaan dan fadhilah yang sangat besar dan juga memberi pengaruh positif yang sangat membekas pada kondisi ruhaniah pembacanya. Membaca Al-Qur’an pada sepertiga malam adalah perintah langsung Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebihkan dari seperdua itu, ban bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. al-Muzammil: 1-4). Pada ayat ke-enam Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.”
Membaca Al-Qur’an disepertiga malam atau lebih masyhur dikenal dengan waktu sahur, dikatakan waktu yang tepat untuk khusyuk dan waktu itu bacaan Al-Qur’an jauh lebih berkesan karena kita melakukannya dalam keheningan, disaat kebanyakan manusia memilih tetap terlelap dalam tidurnya. Sehingga amalan yang dilakukan dalam kesendirian inipun lebih menjauhkan seorang muslim dari sifat riya.
Pada Malam dan Hari Jum’at
Bejibun hadits dari Rasulullah Saw dan Maksumin As mengenai keutamaan malam dan hari Jum’at termasuk dilipatgandakannya pahala dari amalan-amalan saleh yang dilakukan didalamnya, termasuk membaca Al-Qur’an. Bahkan sejumlah hadits dari Rasulullah Saw secara khusus memaparkan keutamaan beberapa surah pilihan yang memiliki keutamaan besar ketika dibaca pada malam dan hari Jum’at. Seperti membaca surah al-Kahfi, Yasin, al-Waqiah dan lain-lain.
Adab Membaca Al-Qur’an
Untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari amalan membaca Al-Qur’an, sudah semestinya kita memperhatikan dan mengamalkan adab-adab ketika membacanya. Diantaranya sebagai berikut:
Dalam Keadaan Suci
Sangat diutamakan ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci yaitu memiliki wudhu. Imam Ali bin Abi Thalib As berkata, “Ketika seorang hamba tidak memiliki wudhu, maka janganlah membaca Al-Qur’an sampai kemudian dia mengambil wudhu terlebih dahulu.” (Bihār al-Anwār, jld. 10, hlm. 105).
Bersiwak (Menyikat Gigi) Sebelum Membaca Al-Qur’an
Imam Ali As berkata, “Mulut kamu adalah jalan keluarnya bacaan Al-Qur’an, karena itu bersihkanlah terlebih dahulu dengan siwak, sebelum engkau membacanya.” (Man Lā Yahdhuru al-Faqih, jld. 1, hlm. 81).
Membaca dengan Suara yang Indah
Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dengan suara yang indah, sebab suara yang indah semakin menambah keindahan Al-Qur’an.” (‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm 69).
Pada hadits yang lain Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dengan lahn Arab dan suara yang indah.” (Al-Kāfi, jld. 2, hlm. 614).
Menghadap Kiblat
Disaat membaca Al-Qur’an, diutamakan menghadap kiblat dan dalam keadaan tuma’ninah, baik itu berdiri, maupun duduk. (‘Urwatu al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 548). Meski dianjurkan tu’maninah (kondisi tubuh dalam keadaan tenang) namun melakukannya dengan bersandar di dinding bukan sesuatu yang dilarang, dan tidak pula dianggap makruh.
Membaca dengan Mushaf
Membaca dengan menggunakan mushaf lebih diutamakan dan mengandung pahala yang lebih besar. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada yang lebih sulit bagi Syaitan dari menggoda manusia selain ketika membaca Al-Qur’an, itupun ketika membacanya dengan mushaf dan memusatkan pandangannya pada mushaf.” (Bihār al-Anwār, jld. 92, hlm. 202).
Ishaq bin Ammar bertanya kepada Imam Ja’far as-Shadiq As, “Saya menghafal Al-Qur’an, apakah membacanya dengan mushaf lebih baik atau membacanya dengan hafalanku?”.
Imam Ja’far As menjawab, “Membacanya dengan mushaf jauh lebih baik. Apakah engkau tidak mendengar, memandang kepada tulisan Al-Qur’an adalah amalan ibadah?.” (Mahajatah al-Baidhāh, jld. 2, hlm. 231).
Membaca Do’a Sebelum Tilawah
Imam Ja’far as-Shadiq As diriwayatkan setiap hendak memulai membaca Al-Qur’a, ia membaca doa terlebih dahulu:
أَللهُمَّ اِنّی أَشْهَدُ أَنَّ هذا کِتابُکَ المُنَزَلُ مِنْ عِنْدِکَ عَلی رَسولِکَ محمّد بن عبدالله، وَ کَلامُکَ النَّاطِقُ عَلی لِسانِ نَبِیِّکَ، جَعَلْتَهُ هادِیاً مِنْکَ اِلی خَلْقِکَ وَ حَبْلاً مُتَّصِلاً فیما بَیْنَکَ وَ بَیْنَ عِبادِکَ. أَللهمَّ إِنّی نَشَرْتُ عَهْدَکَ وَ کِتابَکَ، اللهمَّ فَاجْعَلْ نَظَری فیهِ عِبادَةً، وَ قِرائَتی فِیهِ فِکْراً، وَ فِکْری فیهِ اعْتِباراً، وَاجْعَلْنی مِمَّنِ اتَّعَظَ بِبَیانِ مَواعِظِکَ فیهِ وَاجْتَنَبَ مَعاصیکَ، وَ لا تَطْبَعْ عِنْدَ قِرائَتی عَلی سَمْعی، وَ لا تَجْعَلْ عَلی بَصَریی غِشاوَةً، وَ لا تَجْعَلْ قِرائَتی قِرائَةً لا تَدَبُّرَ فیها، بَلِ اجْعَلْنی أتَدَبَّرُ آیاتِهِ وَ أَحْکامَهُ، آخِذاً بِشَرائِعِ دینِکَ، وَ لا تَجْعَلْ نَظَری فیهِ غَفْلَةً وَ لا قِرائَتی هَذَراً، إِنَّکَ أَنْتَ الرَّؤُوفُ الرَّحیمُ.
(Makārim al-Akhlāq, hlm. 343).
Membaca Doa Isti’ādzah dan Basmalah
Sebelum membaca Al-Qur’an disunnahkan untuk mengawalinya dengan membaca Isti’adzah terlebih dahulu, yaitu A’udzu billahi min asySyaithanirrajim, dengan maksud untuk meminta perlindungan dari Allah Swt agar tidak dipengaruhi dan terhindar dari tipudaya/was-was Syaitan ketika membaca Al-Qur’an. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca Basmalah. Allah Swt berfirman, “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (Qs. An-Nahl: 98).
Membaca dengan Tartil
Yang dimaksud membaca dengan tartil adalah memenuhi kaidah tajwid dari bacaan Al-Qur’an. Yaitu tidak membacanya dengan tergesa-gesa, sehingga melalaikan kaidah-kaidah tajwid seperti panjang pendeknya harakat dan lafadz huruf, waktu-waktu harus berhenti dan seterusnya. Membaca dengan tartil adalah perintah langsung dari Allah Swt. Allah Swt berfirman, “…bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. al-Muzammil: 4).
Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Janganlah membaca Al-Qur’an dengan tergesa-gesa, melainkan bacalah dengan tartil (perlahan-lahan). Ketika kau membaca ayat yang menceritakan mengenai surga, maka berhentilah dan berdoalah agar Allah Swt memasukkanmu ke dalam surga. Begitupun ketika engkau membaca ayat mengenai siksa api neraka, berhentilah sejenak, dan mohonlah kepada Allah Swt agar engkau dihindarkan dari siksa api neraka.” (Ushul al-Kāfi, jld/ 2, hlm. 617).
Fokus dan Tadabbur
Dengan memahami dan menyadari bahwa bacaan Al-Qur’an adalah firman-firman Allah Swt yang seolah-oleh berbincang langsung dengan kita, maka sudah semestinya ketika membaca Al-Qur’an harus dibarengi kesadaran penuh, fokus dan penuh keseriusan sehingga bisa mentadabburi bacaan Al-Qur’an dengan baik. Dengan seolah-olah berbincang dengan Allah Swt maka disaat membaca Al-Qur’an tidak dilakukan dengan bermain-main, sikap santai, dan sambil berbicara dengan orang lain.
Allah Swt berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supayamereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Qs. Shad: 29).
Imam Ali bin Abi Thalib As berkata, “Tidak ada kebaikan pada bacaan Al-Qur’an yang tidak disertai dengan tadabbur.” (Bihār al-Anwār, jld. 2, hlm. 49).
Mendapatkan manfaat yang lebih besar dari bacaan Al-Qur’an bergantung dari bacaan yang disertai dengan tadabbur dan kemampuan untuk fokus pada bacaan. Namun bukan berarti bahwa jika seseorang bukan ahli tadabbur, maka dia tidak mendapatkan manfaat dari bacaannya. Siapapun yang membaca Al-Qur’an dengan niat Lillahi Ta’ala akan mendapatkan manfaat dan keberkahan dari bacaannya, namun bagi yang membacanya disertai dengan tadabbur dengan merenungkan ayat-ayatnya maka manfaat dan keberkahan yang didapatnya jauh lebih besar dan lebih sempurna.
Bersih dari Riya
Hal yang terpenting dari adab membaca Al-Qur’an adalah ketulusan niat. Amalan yang tidak disertai keikhlasan karena Allah Swt maka amalan tersebut tidak memiliki arti dan akan sia-sia. Ikhlas adalah ruh dari ibadah, termasuk ruh dari amalan membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an harus diniatkan Lillahi Ta’ala, bukan karena hendak dipuji orang lain sebagai orang yang saleh, sebagai qari yang memiliki bacaan dengan suara yang merdu ataupun niat-niat yang ternodai hasrat besar meraup keuntungan materi.
Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an karena hendak mendapatkan sesuatu dari manusia, maka kelak di hari Kiamat dia akan datang dalam keadaan wajahnya tidak memiliki daging.” (Tsawāb al-A’māl, hlm. 280).
Menaaati Perintah-perintah dalam Al-Qur’an
Kewajiban yang terpenting terkait dengan Al-Qur’an, adalah mengamalkan perintah-perintah yang termaktub dalam Al-Qur’an termasuk menjauhi hal-hal yang dilarang.
Allah Swt berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu..” (Qs. Al-A’raf: 3).
Pada bagian lain, “Dan Al-Qur’an itu adalah kitab penuh berkah yang Kami turunkan (kepadamu), maka ikutilah kitab ini dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat..” (Qs. Al-An’am: 155).
Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah beriman kepada Al-Qur’an, yang menghalalkan apa yang diharamkan.” (Bihār al-Anwār, jld. 74, hlm. 161).
Imam Hasan al Mujtaba As berkata, “Sedekat-dekatnya manusia dengan Al-Qur’an adalah yang mengamalkannya, meskipun tidak menghafal ayatnya. Dan sejauh-jauhnya manusia dengan Al-Qur’an adalah yang tidak mengamalkannya, meskipun ia telaten membacanya.” (Arsyād al-Quluub, jld. 1, hlm. 79).
Membaca doa Khatamul Qur’an
Setiap selesai membaca Al-Qur’an, disunannahkan untuk membaca do’a penutup Al-Qur’an. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As meriwayatkan bahwa setiap Rasullah Saw habis membaca Al-Qur’an, beliau membaca doa berikut:
أَللهمَّ ارْحَمْنی بِالقرآنِ وَاجْعَلْهُ لی اِماماً وَ نُوراً وَ هُدًی وَ رَحْمَةً. أَللهمَّ ذَکِّرْنی مِنهُ ما نَسیتُ وَ عَلِّمْنی مِنهُ ما جَهِلْتُ، وَارْزُقْنی تِلاوَتَهُ آناءَ اللَّیلِ وَالنَّهارِ، وَاجْعَلْهُ حُجَّةً لی یارَبَّ العالمینَ.
(Bihār al-Anwār, jld. 92, hlm. 206).
Demikianlah diantara adab-adab membaca Al-Qur’an menurut ayat-ayat Al-Qur’an sendiri dan petunjuk dari Maksumin As.
Sebagai penutup, ada baiknya kita membaca pesan dari Imam Baqir As mengenai tiga golongan pembaca Al-Qur’an. Beliau As berkata, “Pembaca Al-Qur’an itu terbagi atas tiga golongan:
Pertama, yang membaca Al-Qur’an untuk popularitas, ia mendapatkan keuntungan dari raja dan pujian dari masyarakat.
Kedua, yang membaca Al-Qur’an bahkan menghafalnya, namun tidak mengamalkannya.
Ketiga, yang membaca Al-Qur’an dan ia menyembuhkan penyakit-penyakit hatinya dengan itu. (Amāli Shaduq, hlm 202).
***
Ismail Amin
[Studi di Jurusan Tafsir Al-Qur’an pada Program Pasca Sarjana Mostafa International University Qom, Republik Islam Iran]
Fenomena Ahmadi Nejad yang tegas
bahkan terbilang keras kepada Amerika Serikat, melahirkan efouria bagi umat Islam. Sebagai presiden negara yang
mayoritas berpenduduk muslim bahkan Islam menjadi asas negaranya menjadikan
Ahmadi Nejad sebagai idola baru generasi muda Islam. Kunjungannya ke Jakarta
dan masjid Istiqlal yang disambut histeria menjadi bukti, bahwa sosok pemimpin
Islam yang dirindukan umat Islam Indonesia ada pada diri Ahmadi Nejad. Termasuk
ketika mengunjungi negara-negara mayoritas muslim lainnya, penyambutan untuknya
tidak kalah histerianya. Kesederhanaan, kemampuan diplomasi yang memukau dan
perhatiannya yang besar pada isu-isu umat Islam dan kelompok yang tertindas
khususnya pembelaannya pada Palestina menjadikannya target pemusuhan AS dan
gerakan Zionisme Internasional.
Namun menyerang Ahmadi Nejad secara
pribadi, bukanlah target sesungguhnya, sebab Iran memiliki pasokan tokoh yang
bahkan melebihi Ahmadi Nejad dalam jumlah yang sulit diperkirakan. Jadilah Iran
dan mazhab Syiah sebagai mazhab yang paling banyak dianut rakyat Iran sebagai
target pembusukan. Melalui media-media mainstream internasional dimulailah strategi
pembusukan itu. Iran dicitrakan sebagai negara teroris, radikal dan mengancam
perdamaian dunia. Syiah melalui fatwa-fatwa ulama atas suruhan raja Arab Saudi
-yang merupakan kaki tangan AS- disebut sesat, kafir dan bukan Islam.
Fatwa-fatwa ulama klasik yang sudah terkubur lama, diangkat kembali meskipun
tidak ada kaitannya dengan Syiah yang diyakini rakyat Iran. Fatwa Imam Syafi’i
misalnya, yang dikecam adalah Rafidhi, namun teks fatwanya dipelintir untuk
mengecam Syiah.
Iran dan Syiah difitnah sedemikian
rupa melalui berita-berita hoax dan tuduhan-tuduhan tendensius dan tanpa bukti
untuk menghasut umat Islam Indonesia untuk memusuhi Iran. Buku hoax “Lillahi
Tsumma li at Tarikh” yang tidak laku di Timur Tengah karena bohongnya terlalu
kentara, bahkan tidak dicetak lagi, di Indonesia disebar secara massif dengan
judul, “Mengapa Saya Keluar dari Syiah”. Buku pamungkas yang paling sering
dikutip untuk menyebar fitnah keji pada Imam Khomeini dan penganut Syiah secara
keseluruhan.
Melalui media-media berlabel Islam,
di Indonesia disebar berita bahwa tahanan perempuan di Iran sebelum dieksekusi
mati, diperkosa dulu oleh sipir penjara, sumber beritanya dari The Jerussalem
Post, media Zionis. Iran disebut negara penghasil dan bandar narkoba terbesar,
padahal Iran mendapat penghargaan dari PBB sebagai negara yang paling keras
melawan peredaran Narkoba.
Ratusan gembong narkoba yang digantung tanpa ampun
di Iran, diklaim bahwa Iran menggantung rakyatnya yang Sunni. Komunitas Syiah
Iran disebut memiliki Al-Qur’an yang berbeda, sementara Iran bukan hanya
melibatkan delegasinya dalam pentas MTQ Internasional diberbagai negara muslim,
namun juga menjadi tuan rumah untuk berbagai kegiatan Qur’ani berskala
internasional. MTQ Internasional terakhir di Masjid Istiqlal Jakarta 2015, dua
delegasi Iran malah menggondol juara untuk tingkat hafiz dan tilawah. Syiah
disebut-sebut bukan Islam, sementara ratusan ribu Syiah naik haji ke Mekah tiap
tahunnya. Iran disebut negara Majusi dan bukan negara Islam, sementara
kenyataannya, Iran terdaftar dalam anggota OKI, organisasi internasional yang
hanya beranggotakan negara mayoritas muslim, dan tidak ada yang menolak
keberadaan Iran dalam organisasi tersebut.
Meski berkali-kali berita hoax itu
dibantah, tapi terus saja berita yang menyudutkan Iran beredar dan
diulang-ulang oleh media-media berlabel Islam di Indonesia. Pejabat-pejabat
negara, ulama, tokoh-tokoh Islam dan intelektual Indonesia yang mengunjungi
Iran telah membeberkan dan memberikan pernyataan terbuka mengenai kondisi Iran
yang sesungguhnya, termasuk oleh kepala Duta Besar Indonesia untuk Iran.
Bahkan, ulama Ahlus Sunnah Iran sendiri yang langsung membantah dihadapan MUI
dan tokoh Islam Indonesia dalam kunjungannya ke Indonesia, bahwa berita
terzaliminya komunitas Sunni di Iran adalah propaganda dusta untuk memecah
belah Sunni-Syiah.
Apa keuntungan yang didapat dari
propaganda negatif memusuhi Iran? Apa serta merta negara-negara Islam lainnya
menjadi kuat dan mampu membebaskan Palestina dari cengkraman Israel kalau
semuanya serentak memusuhi Iran? Apa musuh-musuh Islam menjadi lemah dan tersudut
malu melihat betapa kerasnya permusuhan negara-negara Islam lainya pada Iran? Apa
serta merta kaum Sunni menjadi lebih Islami dengan terus menerus menghantam
Syiah dengan kampanye Syiah bukan Islam? Atau malah sebaliknya, dunia Islam
terus larut dalam perseteruan Sunni-Syiah dan melalaikan panggilan zaman untuk
persatuan umat Islam. Kesibukan untuk membuktikan kesesatan Syiah atau
sebaliknya justru akan melalaikan muballigh-muballigh Islam untuk menyelesaikan
isu-isu ummat yang lebih urgen, pendidikan, mengatasi kemiskinan dan
menjalankan agenda Islam yang prestisius, menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Ayatullah Sayid Ali Khamanei (ulama
Syiah Iran) mengatakan, siapapun Syiah yang menghujat Sunni ataupun mengangkat
isu-isu yang memancing perseteruan ummat, maka dia adalah agen musuh yang harus
dijauhi. Sekjen Hizbullah, Sayid Hasan Nashrullah (ulama Syiah Lebanon)
mengatakan, Syiah ataupun Sunni yang secara provokatif memecah belah umat Islam
dengan isu Sunni-Syiah, maka harus dipotong tangannya. Habib Ali al Jufri
(ulama Ahlus Sunnah Yaman) mengatakan, musuh umat Islam adalah pihak-pihak yang
berupaya meyakinkan, bahwa Sunni dan Syiah bermusuhan. Demikian pula yang
disampaikan oleh Prof. DR. H. Quraish Shihab (ulama Ahlus Sunnah Indonesia)
bahwa mereka yang memperseterukan Sunni dan Syiah adalah orang-orang yang
terlambat lahir.
Pesan dan seruan para ulama Islam
tersebut itu adalah juga pesan Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(Qs. Al-Anfaal: 46). Kekuatan umat Islam adalah pada persatuannya, ada pada
kesabarannya untuk meninggalkan ego dan fanatisme mazhab. Sementara mereka yang
menyibukkan diri dengan isu-isu khilafiyah, tidak punya dalil yang tegas baik
dari Al-Qur’an maupun as Sunnah mengapa harus memaksakan pendapatnya bahkan
bertindak keras dan kasar pada yang berbeda pendapat. Dalam surah al Baqarah
ayat 213 disebutkan, penyebab melarutkan diri dalam perselisihan adalah
kedengkian. Sebab jika motivasinya karena taat pada Allah Swt, maka
perselisihan tersebut harusnya ditinggalkan dan menyerahkannya pada keputusan
Allah Swt, itupun pada hari kiamat, bukan di dunia. “Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang
selalu mereka perselisihkan padanya. (Qs. As Sajdah: 25).
Tugas umat Islam, apapun mazhab dan
alirannya, adalah berlomba-lomba dalam kebajikan, sebab jika Allah Swt
menghendaki maka umat manusia menjadi umat yang satu, namun kenyataannya,
tidak. Karena itu, umat Islam hendak diuji dengan perbedaan itu, untuk
mengetahui siapa yang paling getol menyebar kebaikan, dan siapa yang malah lebih
sibuk mengurusi perselisihan yang justru menghambat laju umat untuk mencapai
kemajuannya dan memberi keuntungan besar pada musuh.
Kita bisa belajar banyak dari bangsa
Iran, bagaimana persatuan, bukan hanya antar mazhab dalam Islam, namun juga
dengan penganut agama lainnya, mereka bisa mendirikan negara yang bisa
mengayomi semua pemeluk keyakinan, tanpa membeda-bedakan, dan menariknya
republik yang didirikan itu berlabel Islam. Ulama-ulama Islam di Iran bisa
meyakinkan rakyat Iran, bahwa Islam yang mereka usung adalah Islam yang memberi
rahmat, Islam yang menjamin kebebasan penduduk untuk berbicara dan berkeyakinan
dengan tidak saling mengusik satu sama lain.
Musuh bersama mereka adalah
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kezaliman dan permusuhan terhadap
sesama hanya karena berbeda. Inilah yang ditentang Amerika Serikat, gerakan
Zionis dan sekutu-sekutunya. Yang mereka mulai dengan konspirasi dan ajakan
untuk memusuhi Iran, agar tidak banyak yang mengambil manfaat dari kemenangan
revolusi di Iran.
Dirgahayu kemenangan revolusi Islam
Iran ke-37, selamat untuk bangsa Iran.
Ismail Amin, sementara menetap di
Qom Iran.