Siapa yang tidak kenal Jamaluddin al-Afghani? Pembaharu Islam yang disebut penggagas nasionalisme dan gerakan Pan-Islamisme. Dia banyak mempengaruhi tokoh-tokoh revolusi sejarah modern lewat seruannya untuk memerdekakan tanah air dari penjajahan. Di Indonesia era pra kemerdekaan pun, gagasan nasionalisme Sayid Jamaluddin telah mempengaruhi HOS. Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy'ari sampai Soekarno. Berdirinya Syarekat Dagang Islam pun berangkat dari ide Jamaluddin agar umat Islam bergerak menentang kolonialisme. Meski awalnya berdiri untuk menggalang kerja sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi dalam menghadapi monopoli dagang Belanda, namun selanjutnya SDI (kemudian berubah menjadi SI) bergerak untuk menentang politik Hindia Belanda dan mencita-citakan Indonesia merdeka.
Pan-Islamisme adalah seruannya agar umat Islam bersatu menentang kolonialisme dan imperialisme yang memiskinkan umat Islam. Untuk mempromosikan idenya, ia bepergian ke berbagai negara Islam dan Eropa. Untuk memuluskan langkahnya ia berkali-kali melakukan penyamaran, yang membuatnya dia dicurigai banyak pihak. Oleh Inggris dia disebut mata-mata Rusia. Oleh Rusia dia disebut informan Inggris. Kepiawaiannya dalam berorasi memunculkan kesadaran baru dikalangan pribumi untuk melawan penjajah. Agar idenya banyak diketahui, dia mebuat jurnal. Agar punya kekuatan dobrak yang lebih dasyhat dia membuat partai politik. Dia berbahaya bagi tirani yang korup. Dia terusir dari Iran, di Afghanistan dia jadi Perdana Menteri tapi karena pengaruh Inggris, dia tersingkir. Di Mesir, dia mengajar di al-Azhar dan mencetak banyak murid ideologis, diantaranya Muhammad Abduh. Namun kembali dia terusir oleh Taufik Pasha, penguasa Mesir yang dibantunya naik tahta.
Dia pun mengembara tanpa henti mengkampanyekan ide nasionalisme dan Pan-Islamismenya. Setidaknya disebutkan dia pernah tinggal di Afghanistan, India, Mekah, Mesir, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, Iran dan Turki. Bahkan ada yang menyebut, dia pernah ke Indonesia. Dia menguasai bahasa Arab, Persia, Prancis, Inggris, Urdu dan Rusia. Hanya kematian yang bisa menghentikan langkah pengembaraannya. Dia disebut mati diracun di Istanbul oleh agen Dinasti Qajar (dinasti yang berkuasa di Iran) pada tahun 1897. 48 tahun kemudian, pemerintah Afghanistan meminta jenasahnya, dan akhirnya makamnya dipindahkan ke Kabul Afghanistan.
Jamaluddin al-Afghani pernah berkata, "Telah aku kumpulkan pikiran yang berserak-serak. Telah aku satukan ingatan yang bercerai-berai. Maka aku renungkanlah seluruh Timur dengan penduduknya. Maka aku khususkanlah segala peralatan, otakku, untuk menyelidiki apa sakitnya; dan untuk mencari apa yang baik untuk obatnya. Telah aku dapat. Maka penyakitnya yang paling membunuh adalah perpecahan, pikiran yang bersilang siur. Tiap diajak kepada bersatu, merekapun berselisih. Maka akupun bekerjalah, berjuang, untuk menyatukan kalimat yang bercerai-berai itu. Aku peringatkan bahwa bahaya Barat sedang mengancam dengan dahsyatnya".
Murtadha Muthahhari, ulama dan pemikir Iran mengatakan, "Tidak diragukan, gerakan revolusi seratus tahun terakhir berhutang budi pada Sayid Jamaluddin Asadabadi. Dialah yang memulai kebangkitan di negara-negara Islam, menceritakan penderitaan sosial umat Islam dengan realisme tertentu, menunjukkan cara untuk mereformasi dan menemukan solusi. Gerakan Sayid Jamal bersifat intelektual dan sosial. Sayid Jamal mengakui penderitaan paling penting dan kronis dari masyarakat Islam adalah tirani penguasa lokal dan kolonialisme asing. Dan dia berjuang melawan keduanya dengan penuh semangat. Meski pada akhirnya dia harus kehilangan nyawanya."
Fakta yang belum banyak diketahui orang. Nama aslinya, Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husaini. Dia memiliki silsilah yang bersambung ke Imam Husain melalui Imam Sajjad. Meski mengaku orang Afghanistan dengan menyematkan al-Afghan pada namanya, namun dokumentasi sejarah menunjukkan dia orang Iran. Dia lahir dan dibesarkan dalam keluarga Syiah di Asadabad, dekat Hamadan, di Iran yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan sebuah distrik kecil di pinggiran Kabul. Karena itu orang Iran lebih mengenalnya dengan nama Sayid Jamaluddin Asadabadi.
Pendidikan Islamnya dia dapat dari Qazwin, Tehran dan lama di Najaf Irak. Semuanya adalah pusat pendidikan Syiah. Statusnya sebagai murid dari Syaikh Murtadha al-Anshari, ulama Syiah paling kesohor dimasanya, menjadi bukti kuat bahwa dia bermazhab Syiah. Dia belajar selama 4 tahun di bawah bimbingan langsung ulama marja Syiah tersebut.
Namun demi persatuan umat, Sayid Jamal melepaskan atribut keyakinan pribadinya, dia membebaskan diri dari dikotomi Sunni-Syiah. Dia berbaur dengan Syiah di Iran dan Irak, dengan sufi di India, dengan Hanafi di Aghanistan dan Turki, dengan Maliki di Mesir, dengan Hambali di Hijaz dan Syafii di Timur Jauh. Dia menghabiskan usia dan segenap tenaganya untuk mempropagandakan persatuan umat. Sebuah cita-cita besar yang sampai sekarang masih terbentur tembok tinggi fanatisme mazhab dan sektarianisme. Yang membuat umat masih juga belum bisa lepas dari penjajahan politik dan ekonomi baik oleh tirani domestik maupun dari kolonialisme asing.
Sayid Jamaluddin berkata, "Oleh penguasa Sunni, saya disebut Rafidah. Oleh penguasa Syiah, saya disebut Nashibi."
Dengan aktivitas dan mobilitasnya yang tinggi, Sayid Jamaluddin tidak menikah. Kisah heroiknya mengingatkan kita dengan Tan Malaka. Sama-sama tidak menikah, sama-sama idealis dan menghabiskan hidup untuk menentang kolonialisme dan sama-sama doyan bepergian. Tan Malaka pernah tinggal di setidaknya 6 negara, dan banyak menghabiskan usianya dari penjara ke penjara. Sama dengan al-Afghani, Tan Malaka juga gugur di tangan sebangsa sendiri, yang dia perjuangkan kedaulatan dan kemerdekaannya. Benar kata orang, revolusi selalu memangsa anaknya sendiri.
Related Posts :
- Back to Home »
- Iran , Islam , Kisah , Sosok , Syiah , Timur Tengah »
- Pejuang Kemerdekaan yang Dibunuh Sebangsanya sendiri