Posted by : ismailamin Jumat, 10 Juli 2015


Petunjuk Pembacaan:

Ini sudah saya tulis lama,
saya niatkan sebagai pengantar buku, tapi setelah sekian lama belum berkesempatan untuk melanjutkan, bahkan pikiran konyolku untuk mengenai Syiah secara langsung dari ulamanya di Iran malah terwujud, saya tidak terlalu berharap, bisa menuntaskan. tapi mohon doanya saja mungkin suatu waktu saya bisa melanjutkannya  menjadi cerita yang lengkap dalam perjalanan mencari kesejatian dalam Islam [termasuk pergulatanku selama di Iran]….

sampul bukunya, saya desain sendiri dengan cara yang sangat primitif, saya tulis MIZAN karena memang bermimpi akan diterbitkan MIZAN, meskipun itu mimpi yang konyol…

dari pada tulisan ini mengendap, saya publish saja, semoga saja ada manfaatnya, dan tentu saja akan ada yang mengecamnya… tujuan saya menulis bukan untuk menyenangkan semua orang… menulislah dengan alasan apapun, selama itu bukan untuk melecehkan orang lain…

bagi teman2 yang mengenali saya sejak kuliah di UNM [2001-2007], tidak akan kesulitan mengikuti alur cerita saya dan paham dengan apa yang saya maksudkan, tapi bagi yang tidak mengenal saya sebelumnya [terutama teman dari luar Makassar] mungkin akan sedikit kesulitan... jadi saya mohon maaf... 

patut diperhatikan, mengingat rentang waktu sejak saya menulis ini sampai saat ini, tentu saja telah terjadi perubahan pandangan... saya bisa saja tidak sepakat dengan apa yang saya sendiri tulis dulu... 

tulisan ini adalah pengalaman pribadi, pendapat pribadi, tidak mewakili siapapun, dan tidak bisa digeneralkan, bahwa karena pandangan saya seperti yang saya tulis, berarti teman2 dikomunitas saya sebelumnya berpandangan yang sama... tulisan ini bukan dalam rangka hendak menunjukkan siapa yang salah, dan bagaimana yang benar itu.. 

oh iya, ini akan memakan waktu 20-30 menit untuk anda membacanya… saran saya, tunda untuk membacanya, jika anda tidak punya waktu untuk membacanya dalam sekali baca... baca disaat anda istrahat sepulang taraweh, atau sehabis sahur sambil tunggu waktu subuh, atau sekalian besok pagi saja.. saya tidak mau tulisan ini menghalangi ibadah malam anda… utamakan membaca Al-Qur'an dimalam ini... 

selamat membaca… ^_^

>>>>>>>

Sejak tahun pertama di kampusku UNM Makassar dipertengahan tahun 2001, saya ikut kajian bermanhaj salaf, disitu saya diperkenalkan golongan Islam yang selamat itu adalah yang bermanhaj salaf, dan hanya satu-satunya, sementara yang lain sesat. Meski waktu itu cukup bingung juga, manhaj salaf ini mazhabnya apa. Karena dengan bekal ilmu agama yang diperoleh disekolah, Islam itu diperkenalkan ada empat mazhab: Syafii, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Ketika saya tanyakan, jawabannya, manhaj salaf itu mengikuti ulama-ulama terdahulu yang saleh, dan sebaik-baik salaf adalah Rasulullah Saw. Jadi manhaj salaf adalah manhajnya Rasulullah Saw sesuai dengan pemahaman shalafush saleh, sehingga tidak mengkhususkan hanya mengikuti satu imam mazhab saja. Siapa saja salaf [orang terdahulu] yang saleh, maka wajib untuk mengikuti jalannya. Maka diperkenalkanlah siapa ulama-ulama salafush saleh itu, disebutkanlah imam fulan dan imam fulan, syaikh ini dan syaikh itu.

“Bagaimana kita memastikan bahwa syaikh fulan ini termasuk ulama salafush saleh?”

“Dari aqidah dan pandangannya yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah?”

“Bukankah semua ulama juga menyebutkan pandangan mereka sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah?”

“Iya, tapi harus sesuai dengan pandangan ulama salafush saleh.”

Meski ada yang mengganjal dari jawaban tersebut, saya tetap saja mengiyakan setiap diajak pengajian. Lewat pengajian tersebut, sayapun bersentuhan dengan literatur yang sebelumnya sangat asing. Saya mengikuti kajian kitab Al Ushul Ats Tsalatsah, tiga landasan pokok yang wajib diketahui seorang muslim dalam beragama. Kitab tersebut merupakan master piece Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Lewat kajian tersebut saya diperkenalkan bagaimana mengenal Rabb, agama dan Rasulullah Saw. Saat itu yang dikaji adalah syarahnya, yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, ulama mufti besar Arab Saudi.

Kajian yang benar-benar menggelorakan perasaanku. Rasa sesal, geram, sedih, senang dan haru bercampur aduk. Saya senang, karena lewat kajian ini saya merasa lebih mengenal Islam agamaku, saya merasa lebih dekat dengan Tuhan yang selama ini saya mengabaikan ilmu untuk mengenaliNya dan saya jadi lebih banyak tahu mengenai Nabi Muhammad Saw dan sunnahnya.

Saya sedih, kecewa bercampur sesal, mengapa baru mengetahuinya saat itu, dan betapa banyaknya orang-orang yang mengakui diri sebagai muslim namun tidak mengetahui apa-apa mengenai agamanya, kecuali sedikit sekali. Kesenanganku saya lanjutkan dengan intens mengikuti kajian tersebut, dan kekecewaanku terhadap banyaknya teman-teman kampus yang abai untuk lebih mengenal agamanya saya tuntaskan dengan bergabung dilembaga dakwah kampus, untuk mengajak sebanyak-banyaknya dari mereka untuk turut mengkaji agama ini lebih intens.

Tidak hanya bersentuhan dengan buku yang membahas masalah aqidah. Namun juga fiqh, utamanya mengenai shalat. Lewat seniorku, saya diperkenalkan buku Sifat Shalat Nabi  karya Syaikh Nasharuddin al Albani yang disebutnya paling mewakili versi shalat yang benar. Buku itu saya baca berulang-ulang dan mempraktikkannya. Pengaruh buku itu luar biasa, setiap habis shalat saya merasa bahwa shalat saya pasti diterima, karena dengan mempraktikkan apa yang tertulis dalam buku itu berarti saya shalat sama persis gerakan dan bacaannya dengan shalat Nabi. Bukankah Nabi Saw bersabda, “Shalatlah sebagaimana aku shalat.” Kerjaan saya sehabis shalat, adalah mengamati jama’ah lain yang shalat sunnah. Saya perhatikan dan menilai bagian gerakan mana dari mereka yang tidak sesuai dengan sunnahnya Nabi. Saya selalu bersyukur berkenalan dengan manhaj yang selamat itu, dan merasa kasihan dan iba terhadap mereka yang belum mengenalinya.

Hobiku membaca, membuatku berkenalan lebih banyak lagi dengan karya-karya ulama Islam bermanhaj salaf, termasuk majalah-majalah Salaf.  Saya sampai berlangganan majalah As Sunnah dan An-Nashihah. Hidayatullah pun saya lahap meski tidak secara khusus menyebut diri bermanhaj Salaf, sampai Sabili yang saya anggap saat itu merupakan media yang paling representatif membicarakan berita terkini dunia Islam. Termasuk majalah-majalah bertemakan keluarga Islam, seperti Elfata dan an Nikah. Semangat dakwahku yang menggebu, sampai membuatku sempat menjadi distributor majalah-majalah tersebut untuk saya edarkan di kampus. Termasuk berkali-kali membuat lapakan buku dikoridor kampus. Saya terkadang, sengaja membeli puluhan buletin Islam untuk saya bagi gratis ke teman-teman kampus. Bagian terpenting dari buku-buku yang saya baca, saya fotokopi dan jadikan selebaran untuk kemudian saya bagi. Setelah mengenal penggunaan komputer, saya banyak menulis artikel-artikel Islami yang saya sadur dari buku-buku bermanhaj Salaf yang kemudian saya pajang di majalah dinding kampus ataupun saya muat dibuletin berbentuk selebaran. Semua itu, semata-mata, agar lebih banyak yang tahu, dimana letak keindahan sesungguhnya.

Hanya berselang dua pekan dari awal saya mengikuti kajian Salaf, sayapun menggunting kain celanaku. Adalah sunnah bagi laki-laki muslim untuk mengenakan pakaian yang tidak menutupi mata kaki. Sejak itu pula saya anti mengenakan sepatu apalagi kaos kaki, atas nama sunnah Nabi itu, termasuk keruang kuliah sekalipun. Saya heran dengan sejumlah ikhwan yang masih juga menggunakan kaos kaki, kan kaidahnya pakaian tidak boleh menutupi mata kaki, sementara kaos kaki menutupinya, harusnya kaos kaki juga tidak boleh digunakan. Tapi hanya saya yang berpandangan begitu, ikhwan salaf yang lain, tetap saja enteng menggunakannya. Prinsip saya, kalau yakin sama iman Salaf, yang jangan setengah-setengah mempraktikkannya.

Ibu menimpali, “Nak celananya jangan digunting semua, karena model celana yang trend itu biasanya tidak lama.”

Saya hanya tersenyum geli. Dalam hati saya berkata, “Ini sunnah Nabi bu… Sunnah yang diabaikan umat Islam hari ini.” Meskipun tetap ada rasa miris, mendengar penyataan ibu. Saking asingnya, sunnah ini, ibu menyebutnya trend dalam berpakaian, yang tidak akan lama.

Semakin orang-orang di kampung memandangi aneh penampilanku, saya semakin sangat bangga. Selalu terngiang sabda Nabi Saw, “Islam itu datang dalam keadaan terasing, dan suatu waktu akan kembali terasing. Berbahagialah mereka yang terasing itu.” Tidak jarang, karena dinilai terlampau rajin kemasjid shalat jamaah lima waktu, sebagian keluarga malah menyebut  saya sudah bergabung dengan aliran sesat,  ada yang malah menyebut bergabung dengan organisasi teroris, yang saat itu diidentikkan dengan jenggot panjang, dan kain celana diatas mata kaki. Saat itu sangat santer dengan isu terorisme Islam. Apalagi tahun-tahun itu Amerika Serikat sedang menginvasi Afghanistan untuk mencari Osama bin Laden.

Saya bersyukur memiliki orangtua dan saudara-saudara yang kooperatif dengan pilihan saya. Ibu yang terkadang membela saya didepan keluarga besar yang kadang memberi cibiran dan nasehat agar mengingatkan saya, untuk tidak fanatik berIslam. Sebab sejak rajin tarbiyah, saya jadi enggan ke acara-acara keluarga, foto bersama, apalagi sekedar bersalaman dengan sepupu-sepupu yang perempuan. Diacara kawinan keluarga, saya pasti mencari-cari alasan untuk tidak ikut. Ketika berbicarapun saya kebanyakan menunduk atau memandang ke arah lain. Saya yang sebelumnya periang meski ditengah-tengah keluarga besar, tiba-tiba pendiam bahkan cenderung pemalu.

Kontribusi dakwah dan loyalitasku yang dianggap besar, membuatku diangkat menjadi sekum lembaga dakwah fakultas, meski baru semester tiga saat itu. Dengan posisi itu saya semakin keranjingan melakukan aktivitas-aktivitas dakwah. Di lembaga dakwah fakultas tersebut diwajibkan para pengurus dan anggotanya untuk mengikuti program tarbiyah Islamiyah. Yaitu berupa halaqah-halaqah kecil yang terdiri dari 5-7 orang mahasiswa yang dibimbing seorang ustad. Nah, ustad-ustad pembimbing ini sepenuhnya saya pilih dari senior-senior yang bermanhaj salaf. Sehingga secara pelan dan pasti pengurus dan anggota yang tidak pro dakwah salaf akan menyingkir dengan sendirinya. Setelah AD/ART diubah dan disebutkan lembaga dakwah fakultas ini berasaskan Islam dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdasarkan pemahaman Salafush Saleh, resmilah lembaga dakwah fakultas saya tersebut, mengusung dakwah salafiah di kampus. Terlebih lagi tidak ada penentangan dari BEM Fakultas, meski lembaga dakwah fakultas secara hirarki berada dibawah kordinasi BEM Fakultas. Yang ada saat itu hanya suara-suara sumbang baik dari mahasiswa maupun dosen, menyebut kami yang bermanhaj salaf, ekslusiflah, tidak mau menerima perbedaanlah, merasa hanya diri sendiri saja yang benar dan sebagainya. Namun tidak ada pihak yang berani memberikan kritikan secara terbuka. “Berani mendebat, saya akan sumpal mulutnya dengan ayat Al-Qur’an dan hadits.” tekadku dalam hati, tapi tidak ada juga yang berani. Justru itu yang membuatku semakin yakin, pilihanku dalam berislam adalah yang benar.

Setiap pekan lembaga dakwahku mengadakan pengajian kampus dengan menghadirkan ustad-ustad alumni Universitas Madinah sebagai pemateri, dengan materi-materi mengenai aqidah, akhlak dan amalan-amalan sunnah yang banyak diabaikan umat Islam. Keaktifan di lembaga dakwah membuatku jarang pulang ke rumah. Saya lebih sering menginap di sekretariat yang berada dalam kompleks kampus. Sehabis shalat subuh, saya berkeliling kampus, untuk menempel selebaran artikel Islam maupun pamflet ajakan untuk ikut pengajian.   Dakwah salaf semakin dikenal dan semakin marak diikuti civitas kampus. Saat itu, bersama dengan ikhwan-ikhwan lainnya, saya menentang jam perkuliahan yang berlangsung diwaktu shalat. Jika dosen tetap mengajar, kami secara demonstratif meninggalkan ruang kuliah dan menuju masjid. Bagi saya, bulshit dengan nilai kuliah, yang terpenting diatas segalanya, adalah tegaknya ajaran Islam dan Sunnah Nabawiah.

Praktik-praktik ospek ditahun penerimaan mahasiswa baru yang tidak syar’i, kami tentang habis-habisan. Terutama penghormatan maba kepada senior yang sambil membungkukkan badan, yang kami nilai saat itu sebagai bentuk kesyirikan. Difakultasku, lobi kami berhasil mewajibkan maba putri saat prosesi ospek untuk menggunakan jilbab syar’i. Meski setelah ospek sebagian besar dari mereka beralih mengenakan jilbab kecil.

Dan keberhasilan terbesar adalah, pesantren maba dan mentoring agama di kampus, berhasil kami ambil alih. Lembaga dakwahkulah yang sepenuhnya menjadi pengelola dan mengatur materi pesantren kilat dan mentoring agama. Lewat situ, pemahaman manhaj salafush saleh yang kami yakini sebagai Islam terbenar kami suntikkan kebatok kepala mahasiswa-mahasiswa baru yang memang masih sangat awam dengan agamanya sendiri.

Masjid kampus, yang sebelumnya dibawah pengelolaan lembaga dakwah universitas, berhasil kami rebut. Saya bersama dengan seorang teman,  menghadap langsung ke Rektor dan mendesaknya untuk menandatangani SK pengurus masjid yang berdiri sendiri dan tidak punya hubungan kordinasi lagi dengan lembaga dakwah universitas, yang saat itu dimonopoli aktivis-aktivis mahasiswa Islam dari HMI dan IMM yang lebih moderat.

Dikepengurusan pertama masjid pasca berdiri sendiri, saya diamanahkan sebagai sekumnya dan senior saya sebagai ketuanya.

Agenda-agenda masjid sepenuhnya dikontrol oleh pengurus masjid yang baru. Daftar khatib jum’at yang lama, kami rombak dan memasukkan nama-nama khatib bermanhaj Salaf. Khatib Jum’at yang sebelumnya didominasi dosen dan guru besar UNM bahkan sebagiannya dari UIN dan Muhammadiyah kami coret dan menggantinya dengan khatib Jum’at yang didominasi alumnus Universitas Madinah, yang menurut saya lebih layak bicara mengenai Islam. Dosen-dosen UNM yang tetap jadi khatib, dipilih yang pro dengan manhaj Salaf, meskipun bukan Salafi, itupun hanya seberapa. Agar tetap terkesan sebagai masjid kampus, sehabis shalat dhuhur, saya sebagai pengurus masjid meminta sedikit dari dosen-dosen UNM untuk memberikan kultum. Sehabis shalat maghrib dan subuh yang jamaah masjid dari masyarakat umum, dibuat program membaca kitab Riyadush Shalihin dan Fathul Bari.

Mengapa saya bersikap sedemikian esklusif dan menutup ruang bagi muballigh Islam lainnya? karena dalam keyakinan saya saat itu, manhaj Salaflah yang paling mewakili Islam. Bahkan secara ekstrim saya meyakini, manhaj Salaflah yang Islam sesungguhnya, yang lainnya telah mengalami penyimpangan dan distorsi dari Islam yang asli. Dalam pemikiranku, hanya Islam yang berdasarkan pemahamankulah yang layak hidup, yang lain harus dilumpuhkan bahkan dimatikan.

Perjalanan mendakwahkan ajaran Salaf di kampus, tidak selalu mulus. Kami berhadapan dengan pemikiran Islam lain di kampus. Ada Fosdik Al Umdah yang membawa pemikiran Hizbut Tahrir, ada IMM, ada PII, ada Jamaah Tabligh, ada pula HMI yang cenderung liberal bahkan menjurus kepemahaman Syiah. Meski tidak ada serangan verbal menyebut mereka sesat secara terbuka, namun dalam hati saya meyakini demikian. Lewat artikel-artikel  yang saya tulis, saya mengecam dan menukilkan fatwa-fatwa ulama Salaf akan kesesatan pemikiran hizbiyah. Akan bid’ahnya zikir berjama’ah yang saat itu dipopulerkan oleh jamaah Az Zikra pimpinan KH. Arifin Ilham. Akan haramnya aksi-aksi demonstrasi yang digandrungi aktivits HT dan HMI. Akan lemah dan dhaifnya hadits-hadits dalam kitab Fadhilah Amal yang dielu-elukan Jamaah Tabligh. Tidak hanya melalui tulisan, namun juga lewat obrolan-obrolan lepas dengan teman-teman di kampus. Setiap ada kesempatan bicara, selalu saja saya mengkaitkan apapun dengan kesesatan Syiah, bahaya paham hizbiyah, dan bid’ah-bid’ah jamaah tabligh dalam beramal, dan menitipkan nasehat agar menghindari dan menjauhi kelompok-kelompok sesat itu demi keselamatan dunia dan akhirat. Ada keasyikan tersendiri ketika membicarakan kesesatan mereka dan disaat yang sama menonjolkan keunggulan pemahaman dalam manhaj salaf.

Sampai sayapun akhirnya merasakan betapa sakitnya dituding sesat dan difitnah.

Tiba-tiba saja, ustad-ustad yang selalu saya minta membawakan materi dakwah di kampus, disebut sesat lewat buku tipis yang dibagikan gratis oleh seorang senior yang awalnya justru dia yang memperkenalkan saya dengan manhaj salaf. Kalau disebut sesat oleh kelompok lain yang selama ini memang kami sebut sesat, itu wajar. Tapi tudingan sesat kali ini datang dari orang-orang yang kami kenal sebagai da’i-da’i Salaf juga. Mereka menyebut deretan nama-nama asatid yang saat itu kami menjadi muridnya, sebagai da’i-da’i yang berpemahaman sesat dan apa yang mereka sampaikan menyimpang dari ajaran salaf yang murni. Sehingga otomatis, kamipun tertuding sesat. Benar-benar tuduhan yang serius dan membuat kami terpukul. Untuk mengkonfirmasi, saya menghadiri langsung majelis-majelis mereka. Saya shalat maghrib di masjid ustad yang menyebut kami itu Salafi yang sesat. Benar, mereka menyebut ustad YA yang saya kagumi keilmuan dan ketawadhuannya, sebagai ustad yang masih ingusan dan tidak layak bicara hadits. Saya benar-benar terpukul, ketika dipengajian mereka, ustad A yang waktu itu menjadi murabbi khusus saya, yang begitu saya cintai dan hormati dikata-katai dan dilecehkan. Saya tidak habis pikir, sesama da’i salaf bisa saling mengumpat dan mencela. Bayangkan, bahkan sampai tidak saling menyapa dan membalas salam jika bertemu satu sama lain.

Yang saya salut, ustad-ustad saya tidak mencela balik atau membalas umpatan yang mereka terima dengan juga mengeluarkan kalimat-kalimat pelecehan. Yang mereka lakukan, adalah memberikan pembelaan atas tuduhan-tuduhan kesesatan yang disematkan pada mereka. Saya tidak habis pikir, ustad-ustad yang selama ini saya yakini mengajarkan manhaj yang selamat dan paling sahih malah dituduh sesat oleh mereka yang juga mengaku bermanhaj Salaf. Lewat kejadian tersebut, menjadikanku saat itu berpikir keras. Pencarian Islam tidak bisa berhenti disini. Setiap orang atau kelompok pasti  meyakini bahwa Islam yang diyakininya itulah yang paling benar, meskipun itu bisa saja, apa yang dianutnya itu malah jauh dari Islam. Islam yang dianut bukanlah Islamnya Rasulullah Saw, melainkan Islam yang dibangun dari rangkaian pemikiran sendiri. Islam yang telah dipilah-pilah, mana yang cocok dengan keinginan dan nafsu, dan mana yang bertentangan. Diantara manhaj salaf sendiri, harus dipreteli lagi, mana Salaf yang benar, dan mana salaf yang menyimpang. Saya kemudian diam-diam keluar dari mainstream komunitas saya, bahwa manhaj salaflah jalan satu-satunya yang benar dalam berIslam.

Saya bertekad mengenali manhaj Islam yang lain, yang selama ini secara sepihak saya sebut sesat dan menyesatkan.

Saya mulai mencoba melirik Aa Gym, yang sebelumnya saya anggap hanya buang waktu mendengar ceramah-ceramahnya. Saya beli buku-bukunya, saya borong kaset-kaset ceramahnya. Saya pantengi setiap ia ngomong di Tv.

Sampai saya ditegur, “Akhi, tidak cukupkah buku-buku dan ceramah-ceramah ulama Salaf untuk kita mengenal Islam dan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang sahih?”

“Tapi kan yang diceramahkan Aa Gym adalah materi Islam juga?” “Yang prioritas saat ini dakwah tauhid Akhi, Aa Gym sengaja tidak mau menyentuh dakwah tauhid untuk menyembunyikan aqidah sesatnya.”

“Maksudnya?” Buku Rapot Merah Aa Gym pun berpindah tangan. Dalam buku itu diungkap tuntas kesesatan aqidah Aa Gym. Bahwa manajemen qalbu yang diajarkannya adalah sesungguhnya ajaran tasawuf yang difatwakan sesat oleh ulama-ulama Salaf. “Buku Talbis Iblis karya Ibnu Jauzi, cukup bagi kita membongkar kesesatan Aa Gym dan menjauhi dakwahnya.” tambahnya.

Buku Rapot Merah Aa Gym saya baca tuntas. Bahkan dibeberapa bagian tertentu saya baca ulang. Tidak sedikit dari tuduhan yang disebutkan dalam buku itu tidak beralasan dan tidak punya bukti. Saya banyak menghabiskan waktu mendengarkan ceramah-ceramah Aa Gym, baik melalui kaset, cd maupun livenya di Tv, namun tidak sebagaimana yang dituduhkan. Sampai ada buku jawabannya yang bertajuk, “Salah Paham, Penyakit Umat Islam Masa Kini, jawaban atas buku Rapot Merah Aa Gym” yang ditulis KH. Tengku Zulkarnaen [saat ini menjadi pengurus MUI Pusat]. Sayapun membacanya. Disampul bukunya dikutip lengkap surah al Hujurat ayat 6 yang memesankan, agar harus ada proses tabayyun sebelum menjatuhkan vonis pada seseorang. Saya tersentak, pesan buku itu, tidak melulu, yang kau dengar dan  kau baca itu benar, hatta itu disampaikan pemuka agama sekalipun. Periksalah dengan teliti terlebih dahulu. Sayapun membaca bantahan-bantahan yang tertulis dalam buku itu. Dua argumen itu saya perhadap-hadapkan. Saya berpihak pada KH. Tengku Zulkarnaen saat itu, yang mengajak untuk bisa menerima perbedaan pendapat dalam Islam. Bahwa beda pendapat bukan berarti sesat apalagi kafir. Tidak melulu lantas dipertentangkan dan dipersoalkan.

Saya kemudian teringat kelompok-kelompok yang disebut sesat saat intens mengkaji kajian Salaf, diantaranya Jama’ah Tabligh, Hizbut Tahrir, Islam Jama’ah, Syiah, Al Zaytun, Ahmadiyah, Inkarus Sunnah, majelis zikirnya KH. Arifin Ilham dll. Saya membaca tuntas buku Hartono Ahmad Jaiz, “Aliran dan Paham Sesat di Indonesia” untuk mengetahui apa bentuk kesesatannya dan bukti-buktinya. Saya harus mengkonfirmasi langsung, apa kesesatan dan penyimpangan yang desematkan pada mereka, memang mereka miliki atau tidak. Karena lewat kejadian-kejadian yang saya alami bisa jadi justru kebenaran yang sesungguhnya letaknya pada kelompok yang gencar dituding sesat.  Tidak main-main, saya meninggalkan ruang kuliah untuk memulai penelusuran ini.

Saya kemasjid Ahmadiyah, meski tidak masuk ke masjidnya karena memang bukan waktu shalat, saya ambil buletin yang memang sengaja disimpan diteras masjid untuk dibaca dan diambil gratis. Saya kunjungi langsung site resminya, dan membaca apa yang tertulis disitu. Saya menyayangkan tidak sempat berkenalan dan bersahabat dengan seorang pengikut Ahmadiyah untuk berdiskusi langsung. Sayapun menemukan satu-satu tuduhan yang tidak terbukti. Ahmadiyah tidak ubahnya Muhammadiyah dan NU yang juga merupakan organisasi Islam. Bahkan Ahmadiyah termasuk gerakan Islam tertua di nusantara [masuk tahun 1920-an]. Agama mereka tetap Islam, Nabinya Muhammad Saw, kitabnya Al-Qur’an dan bersyahadat sama halnya umat Islam yang lain. Bagi mereka, Mirza Ghulam Ahmad adalah wali, yang mereka yakini mendapat wahyu juga [bukan wahyu syariat, hanya wahyu dakwah], yang tidak lantas, merusak keimanan mereka akan khatamun nabiyyin ada di tangan Nabi Muhammad Saw. Tadzkirah bagi Ahmadiyah bukan kitab suci yang diyakini sama kedudukannya dengan Al-Qur’an atau mengganti posisi Al-Qur’an, melainkan sekedar kitab yang berisi catatan, ucapan dan ilhamat Mirza Ghulam Ahmad, yang disusun justru pasca wafatnya oleh murid-muridnya.

Mereka tetap berhaji ke Mekah, tidak sebagaimana tuduhan bahwa hajinya mereka ke Qadian-India atau ke London. Silahkan baca lebih lengkapnya, buku “Pengertian yang Benar tentang Ahmadiyah” karya Minhajurrahman Jojosoegito, pembawa pemikiran Ahmadiyah ke Indonesia. Buku itu yang membimbing saya mengenal Ahmadiyah. Saya mempelajari Ahmadiyah, tidak lantas menjadikan saya cenderung dan tertarik pada Ahmadiyah. Mengenal adalah langkah pertama untuk bisa memberikan penyikapan yang bijak. Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya. Untuk tidak terjebak penilaian yang salah dan hanya ikut-ikutan, penelusuran dan pengkajian memang semestinya dilakukan langsung. Dan saya melihat keyakinan Ahmadiyah tetap sama dengan keyakinan muslim lainnya, hanya saja sering disalah pahami.

Intinya yang membedakan dengan muslim lainnya, adalah keyakinan terhadap kewalian Mirza Ghulam Ahmad, yang diyakini Ahmadiyah sebagai Imam Mahdi yang telah diutus, juga sekaligus dianggap Mesiah yang ditunggu-tunggu Kristiani, dan Krisna yang dinanti-nanti kedatangannya oleh umat Hindu. Tentu saja, sangat absah pengklaiman MGA sebagai Imam Mahdi itu bisa ditolak oleh kelompok Islam lainnya. Namun kepercayaan Ahmadiyah tersebut tidak merusak keyakinan mereka akan syariat Nabi Muhammad Saw, juga tidak mengubah syahadat, hanya memang keyakinan akan kewalian/keimamahan MGA harus disebutkan dalam baiat untuk bisa menjadi jamaah Ahmadiyah. Wahyu-wahyu yang didapatkan MGA dalam keyakinan Ahmadiyah tidak dibaca dalam shalat mereka, tidak juga dipajang dalam masjid. Didalam masjid-masjid Ahmadiyah hanya ada kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda-sabda Nabi Muhammad Saw. Secara fiqh mereka mengikuti mazhab Hanafi. Artikel-artikel  atau buku-buku yang ditulis aktivis Ahmadiyah juga sarat dengan kutipan ayat Al-Qur’an dan sabda Nabi Saw, meski memang terkadang diselipkan ucapan MGA. Namun itu wajar dan dilakukan kelompok-kelompok Islam lainnya yang mengagungkan ulama-ulama dari kelompoknya.

Intinya, kaidah “idra’uu al-syubhaat” (hindari perkara-perkara yang belum jelas) harus dipegang. Saya jadi khawatir memberikan vonis dan memberikan penghakiman yang salah, untuk hal-hal yang saya tidak memiliki ilmu dan pengetahuan yang mendalam mengenainya. Saya sadari,  ketidak tahuan cenderung menimbulkan fitnah dan hujatan. Dan begitu saya dulu.

Saya bisa tidak sepakat dengan Ahmadiyah, namun tidak lantas menyebutnya kafir dan menudingnya yang tidak-tidak, terlebih lagi tanpa melakukan proses tabayyun terlebih dahulu. Pertengahan tahun 2005 saya mengunjungi langsung kantor Jemaah Ahmadiyah di jalan Anuang Makassar.  Saya hendak melihat jadwal pengajian yang mungkin bisa saya ikuti. Saya mau mendengar langsung dari tokoh mereka sendiri mengenai Ahmadiyah yang mereka yakini. Sayang, gedung berlantai dua itu sepi dan terkunci dari luar. Saya melihat dari luar, lantai satunya dijadikan kantor, dan lantai duanya difungsikan sebagai masjid. Saat itu, bagi komunitas Ahmadiyah memang sedikit terancam, menyusul keluarnya fatwa MUI Pusat yang menyebut Ahmadiyah aliran sesat dan keluar dari Islam.

September 2005, komunitas Ahmadiyah diserang di Cianjur Jawa Barat. 70 rumah, 3 masjid, dan satu mobil milik jamaah Ahmadiyah dirusak massa. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Massa menyerang dengan dalih memberangus aliran sesat. Saya jadi bertanya, apa pihak penyerang telah melakukan konfirmasi dulu kepada jamaaah Ahmadiyah mengenai keyakinan yang mereka anut?. Atau hanya mendengar dari satu pihak, itupun dari kubu yang membenci dan memusuhi Ahmadiyah. Apakah perbedaan harus selalu diberangus dan diperangi?. Apa penyerang itu tahu, Ahmadiyah sudah ada justru sebelum Republik ini berdiri? mengapa tidak pernah ada bentrok dan konflik sebelumnya antara masyarakat Islam yang mayoritas dengan komunitas Ahmadiyah disepanjang pemerintahan Soekarno dan Soeharto?

Apakah penyerang itu tahu, jasa Ahmadiyah tidak sedikit dalam memperkenalkan dan mendakwahkan Islam di Eropa, meski pada akhirnya muallaf-muallaf Eropa itu tidak bergabung dengan Ahmadiyah?.

Apa mereka tahu awal MGA itu dikenal didunia Islam adalah dari buku Barahiin Ahmadiyah yang ditulisnya dengan tujuan membela Islam dan membalas serangan-serangan dari kelompok Kristen dan kelompok Hindu khususnya Arya Samaj dan Brahmu Samaj?. Dalam buku itu juga ditulisnya mengenai keunggulan Kitab Suci Al-Quran atas kitab-kitab agama lainnya. Ia merinci keindahan dan kemuliaan Al-Quran dan Ia pun menjawab serangan-serangan dan syubhat-syubhat yang ditujukan kepada Al-Quran. Buku itu mendapat sambutan positif umat Islam. Hanya saja memang dalam jilid kelanjutan buku tersebut, MGA mengklaim mendapat wahyu dari Allah Swt, namun dalam keyakinan Ahmadiyah itu bukan wahyu syariat, melainkan hanya wahyu dakwah. Turunnya wahyu-wahyu itu tidak merusak Al-Qur’an dan syariat Islam.

Karena itu, apa MUI telah secara adil mengkonfirmasi langsung ke tokoh-tokoh Ahmadiyah akan keyakinan mereka, atau hanya melakukan pengkajian literatur yang kemudian komisi fatwa MUI tersebut menyimpulkan sendiri sebagaimana halnya yang mereka lakukan terhadap Syiah?.
Kalau memang ada keyakinan yang menyebutkan, ada Nabi lain pasca Nabi Muhammad Saw dan membawa syariat baru yang membatalkan syariat Muhammadi, maka dipastikan bahwa itu bukan muslim dan pengikut Rasulullah Saw,  dari kelompok manapun ia berasal bukan hanya harus dari Ahmadiyah. Bagaimana mungkin, sekelompok manusia yang meyakini Allah Swt sebagai Tuhannya, Muhammad sebagai Nabinya dan Al-Qur’an sebagai kitabnya harus dipaksa untuk menjadi penganut agama lain?.

Saya bisa tidak sepakat dengan keyakinan pengikut Ahmadiyah, termasuk sejumlah syariat dalam keyakinan mereka yang menurut saya bertentangan dengan Al-Qur’an, tapi bukankah itu juga terdapat dalam keyakinan kelompok-kelompok Islam yang lain?. Sebuah kelompok Islam yang menghalalkan pembunuhan massal dan tindakan teror dan meyakininya sebagai bagian dari ajaran agama, meski sangat jelas bertentangan dengan titah Al-Qur’an dan As Sunnah, tetap dinilai absah menyandang gelar sebagai muslim. Mengapa Ahmadiyah tidak?. Mengapa ngotot memaksakan bahwa Ahmadiyah harus meyakini bahwa MGA adalah seorang Nabi baru yang menggantikan syariat Nabi Muhammad Saw disaat mereka mengaku bahwa MGA dalam pandangan mereka hanyalah Mujaddid dan tokoh pembaharu dalam Islam?. Ketika mereka memberikan kesaksian bahwa tidak ada Nabi dan syariat baru pasca Rasulullah Saw, maka wajib memandang mereka sebagai sesama muslim, sebanyak apapun kemudian perbedaan yang ada dalam menafsirkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.

Betapa kebencian membuat seseorang buta dan mengabaikan ajaran agamanya sendiri yang menuntut penganutnya menyikapi perbedaan dengan bijak. Kalau Ahmadiyah sesat dan menyimpang, mengapa tidak didakwahi baik-baik. Mengapa harus dikecam, dihujat dimimbar-mimbar masjid sampai kemudian menghalalkan penyerangan dan pengrusakan rumah-rumah, kantor-kantor dan masjid-masjid mereka. Islam mengajarkan keterbukaan, siap dialog, siap mendengar sudut pandang lain, Nabi Muhammad Saw berdialog dengan pendeta-pendeta Nashrani Najran, meskipun para pendeta itu yang kalah debat, Nabi Saw tidak memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melecehkan dan mengata-ngatai mereka, Nabi Saw malah mengajarkan pengikutnya untuk tidak membedakan Nabi-nabi, menghormati kitab-kitab terdahulu dan mempercayainya. Namun mengapa ketika berhadapan dengan sesama muslim, hanya karena berbeda metode dan cara dalam memahami Islam, yang terjadi justru saling klaim kebenaran dan bertengkar?. Dalam Islam, yang harus diperangi dan dimusuhi hanyalah kezaliman, siapapun pelakunya, apapun agama, mazhab dan firqahnya.

Kepada non muslimpun kita tidak boleh mengusir dan menumpahkan darah mereka karena alasan berbeda agama dan keyakinan. Lantas mengapa yang diusir dan dibantai adalah juga muslim yang bersyahadat dan bersujud menghadap kiblat yang sama?. Saya terpekur sedih.

Selanjutnya, saya ke masjid yang dikelola ikhwan jama’ah tabligh. Apa kesesatan dan penyimpangan yang selama ini dituduhkan, terbukti?
Sejak disampaikan bahwa Jamaah Tabligh itu sesat, saya sudah heran. Kok iya, sebuah pergerakan jama’ah yang mengajak orang lain untuk taat kepada Allah Swt dan menghidupkan masjid disebut sesat?. Sebelumnya dimasjid kampus, setiap habis shalat dhuhur, seorang ikhwan jamaah tabligh yang juga mahasiswa, akan berdiri dan membacakan untuk jama’ah sejumlah hadits dan amalan harian dari kitab Fadhilah Amal. Begitu ia membaca, ikhwan-ikhwan Salafi bergegas berdiri untuk shalat sunnah, atau keluar dari masjid, meski tidak semua begitu, termasuk saya. Jika tidak ada urusan, saya tetap tinggal mendengarkan ikhwan Jamaah Tabligh itu menuntaskan bacaannya. Ketika saya tanyakan alasan ikhwan yang cenderung phobia terhadap kita Fadhilah Amal itu, mereka menjawab, kitab itu banyak berisi hadits-hadits dhaif dan cerita-cerita khurafat. Saya percaya saja dengan informasi itu. Karena itu, ketika masjid sepenuhnya berada dalam kepengelolaan pengurus yang sekumnya adalah saya. Ditetapkan kitab yang dibaca sehabis shalat adalah, Riyadush Shalihin, Bulughul Maram atau Fatul Bari dan bukan lagi Fadhilah Amal.

Disamping kampus, ada perumahan, dan masjid perumahan tersebut dikelola oleh ikhwan-ikhwan jamaah tabligh. Sayapun hendak mencari tahu lebih dekat mengenai mereka, dengan berkali-kali menjambangi masjid itu. Sehabis shalat, mereka akan duduk melingkar dan merapat untuk mendengar tausiyah salah seorang dari mereka. Yang disampaikan adalah ajakan untuk bertakwa kepada Allah Swt, yang diingatkan adalah istiqamah dijalan dakwah, yang dinasehatkan adalah ajakan untuk peduli terhadap sesama muslim dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka, yang ditekankan adalah menjalankan sunnah-sunnah Nabi Saw. Mendengarkan materi-materi ceramah dan tausiyah mereka, saya jadi berpikir, kesesatannya dimana?. Ikhwan-ikhwan JT juga malah jauh lebih berakhlak dan sopan, tanpa memandang dari golongan Islam mana yang mereka temui. Meski tahu saya aktif dikajian salafi, mereka tetap bersikap ramah dan penuh penghormatan. Walaupun sangat paham, dipengajian-pengajian salaf mereka sering disebut sesat dan beramal tanpa ilmu. Mereka disebut tidak memiliki tauhid uluhiyah dan hanya tauhid rububiyah saja. Mereka ahli bid’ah dalam ibadah. Mereka zalim terhadap keluarga karena lebih mementingkan khuruj untuk berdakwah. Mereka berdakwah tanpa ilmu sehingga malah berbahaya bagi aqidah umat islam, dan yang lebih tendensius mereka disebut lebih mengutamakan Pakistan dan India, dibanding Mekah dan Madinah.

Meski gencar dikampanyekan kesesatan Jamaah Tabligh, sama sekali tidak ada upaya dari mereka untuk membalas kritikan dan tuduhan. Mereka seperti menggunakan kaca mata kuda dalam berdakwah. Jangan lihat apa yang orang lain tuduhkan, jalan terus selama itu baik dan benar. Mereka mengemplementasikan dakwah yang ikhlas. Dan itu mereka buktikan, dalam dakwahnya mereka tetap tersenyum meski mendapatkan penolakan dan cibiran. Kepada yang mengkritik dan menganggap mereka sesat, mereka tetap memulai salam dan sikap persaudaraan. Selama saya intens mendengarkan kajian-kajian mereka, tidak sekalipun dari mereka yang melarang untuk mendengarkan taklim dari kelompok Islam di luar mereka, bahkan tidak pula melarang mengikuti taklim yang isinya menyesatkan mereka. Syuro atau ustad mereka juga tidak pernah mengkhususkan jamaah tabligh untuk hanya shalat di masjid tertentu, dan memberikan perincian masjid yang terlarang shalat didalamnya seperti apa.

Didaerah manapun yang ditemui ada Jamaah Tablighnya, yang mereka lakukan adalah ajakan kepada warga untuk meramaikan dan menghidupkan masjid dengan amalan-amalan sunnah. Tidak ada dari mereka yang berupaya menjauhkan masyarakat dari ulama atau tokoh Islam setempat, yang mereka anjurkan adalah dekat dengan ulama dan orang-orang yang berilmu. Kalau mereka diklaim kurang ilmu, ya semestinya didekati dan diajarkan ilmu kepadanya. Saya mengenal ikhwan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang terbuka terhadap nasehat dan kritikan. Hanya saja mereka sering diadili secara in absentia, sehingga sejak awal dibuatkan kondisi agar masyarakat phobia terhadap dakwah Jamaah Tabligh. Dan itu pula yang kurasakan sebelumnya.

Saya didoktrinasi betapa berbahayanya bermajelis dengan ahli bid’ah. Karena pengaruh doktrin itu, ketika mendengar ceramah Islam, saya harus memilah-milah mana yang ustad yang layak didengar dan mana yang semestinya diabaikan saja, sehingga untuk Jum’atan saya akan memilih masjid yang saya tahu khatib jum’atnya ustad Salafi, meskipun ada masjid yang lebih dekat. Ketika mau shalat disebuah masjid, harus diteliti dulu, apa masjid itu dibangun dengan memenuhi tuntutan syar’i atau tidak. Buku-buku juga harus diklasifikasi, mana yang layak baca dan mana yang seharusnya dihindari. Ketika berinteraksi dengan seseorang, tanamkan rasa curiga terlebih dahulu, sampai terbukti, pemahamannya sesuai dengan manhaj salaf dan tidak sesat atau sebaliknya. Saat berinteraksi dengan ikhwan diluar golongan salafi, jika punya kecenderungan untuk mendengarkan nasehat, maka dinasehati, jika tidak, maka dijauhi. Interaksi yang dibangun kepada kelompok Islam lain harus dibatasi dan sewajarnya, untuk tidak menggambarkan adanya loyalitas dan persetujuan dengan yang mereka yakini dan amalkan.

Sejak menetapkan diri keluar dari ‘mainstream’ Salafi itu, saya jadi kebablasan. Semakin saya dilarang, saya semakin penasaran. Secara berturut-turut kemudian saya terlibat dengan pemikiran tokoh-tokoh JIL lewat transkrip-transkrip pemikiran mereka yang disebar melalui site dan buku. Untuk mengenal Islam plural dan moderat saya membaca catatan harian Ahmad Wahib dan buku-buku yang membedah pemikirannya. Saya membaca karya-karya Nurkholis Majid, Quraish Shihab dan Emha Ainun Nadjib. Saya telusuri sejarah pergerakan Islam Indonesia dengan membaca transkrip pemikiran M. Natsir dan KH. Firdaus AN. Saya berhari-hari membawa buku “Dari Kanan Islam hingga Kiri Islam”, yang ditulis Ahmad Suhelmi, dan membacanya dimanapun saya berhenti. Dari situ saya kenal betapa heroiknya Tan Malaka, Hadji Misbach dan Kartosuwiryo. Untuk Islam politik saya baca pemikiran Hasan al Banna, Fathi Yakan dan Yusuf Qhardawi.

Saya kunyah buku seri Islam Kiri Eko Prasetyo, yang darinya saya kenal Ali Syariati, Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer yang mengajarkan teologi pembebasan. Sampai kemudian berkutat lama untuk mengenal Syiah. Syiah ternyata beda dan unik, tidak bisa dikenali secara sepotong-potong, terlebih lagi fitnah dan tuduhan yang menyerang Syiah jauh lebih bejibun dari kelompok Islam lainnya. Untuk memahaminya harus tuntas mengkaji logika dulu. Dan tidak pula cukup hanya dengan membaca buku-buku para ulama dan pemikirnya. Saya bahkan berpikir konyol saat itu, untuk tahu Syiah sebagaimana mestinya, saya harus ke Iran.

Saya merasa menyesal telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengkaji satu manhaj saja, sementara khazanah dan ilmu Islam ini sangat luas. Semakin banyak baca dan membuka diri, justru khazanah keislaman menjadi semakin kaya. Saya jadi tidak gampang mengkafirkan dan menganggap orang lain sesat, hanya karena berbeda dalam menafsirkan dan memahami teks-teks Islam. Kita cukup mengenal tanpa harus meyakini, apa yang tidak kita sepakati. Bukan perintah agama untuk mencari-cari kesalahan pemikiran kelompok Islam lain untuk kemudian mensematkan pada mereka gelar sesat atau kafir. Kita mengambil dari mereka yang kita yakini kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, dan kita tinggalkan yang lemah dan menurut kita tidak begitu kuat untuk dijadikan landasan aqidah. Jika punya kemampuan untuk mendialogkan pendapat, maka dilakukan, jika tidak biarlah para ahlinya yang membahasnya.

Ikhwan Jamaah Tabligh, Aa Gym dan santri Daarut Tauhidnya, Ahmadiyah, Syiah selama tetap berpegang pada landasan-landasan pokok Islam adalah muslim juga. Masing-masing kelompok Islam pasti memiliki kekurangan baik dari sisi metode dakwah maupun ilmu keislaman yang dikuasai. Karena itu sudah sewajarnya untuk sesama muslim saling menasehati dan menepati dalam kebenaran.

Ilmu Allah itu sangat luas, bahkan tidak terbatas. Sehingga tidak mungkin hanya dikuasai oleh satu dua kelompok Islam saja. Setiap muslim harus  membuka mata. Orang lain juga punya ilmu. Kalau itu berbeda bukan berarti itu salah.

Allah akan mengadili hal-hal yang kita perselisihkan. Klaim mengklaim kebenaran dan keislaman hanya membuat umat Islam makin terpuruk. Mari saling mewasiatkan dan mengingatkan dalam kasih sayang (asih), dalam kebenaran (asah) dan dalam kesabaran (asuh). Mari fastabiqul khayrat. Berlomba-lomba berbuat kebaikan, memberi yang terbaik kepada sesama. Cukuplah Allah jadi Saksi dan Hakim atas diri kira masing-masing. Meski kita meyakini berada pada golongan yang selamat, secara individu tidak ada jaminan kita akan selamat dari azab dan ancaman Allah Swt.
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)".(Qs. Ali Imran:8)

Mengadaptasi ucapan Ahmad Wahib, saya tekadkan, saya bukan Sunni, bukan Salafi, bukan Jamaah Tabligh, bukan Ahmadiyah, bukan Syiah, tapi saya adalah itu semua. Semoga dengan demikian, saya dipandang Allah Swt sebagai muslim yang mencintai agamaNya.

Wallahu ‘alam.

Desember 2005
Ismail Amin

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Saya sangat menggemari tulisan karya anda, mungkin pada waktu bersentuhan dengan Ahmadiyah bapak membaca buku2nya Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang berafiliasi dengan Ahmadiyah lahore, lain dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)yang berafiliasi ke Ahmadiyah Qadian. Perpecahan mereka disebabkan cara pandang yang berbeda karena Ahmadiyah Qadian menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

    BalasHapus

Welcome to My Blog

Tentang Saya

Foto saya
Lahir di Makassar, 6 Maret 1983. Sekolah dari tingkat dasar sampai SMA di Bulukumba, 150 km dari Makassar. Tahun 2001 masuk Universitas Negeri Makassar jurusan Matematika. Sempat juga kuliah di Ma’had Al Birr Unismuh tahun 2005. Dan tahun 2007 meninggalkan tanah air untuk menimba ilmu agama di kota Qom, Republik Islam Iran. Sampai sekarang masih menetap sementara di Qom bersama istri dan dua orang anak, Hawra Miftahul Jannah dan Muhammad Husain Fadhlullah.

Promosi Karya

Promosi Karya
Dalam Dekapan Ridha Allah Makassar : Penerbit Intizar, cet I Mei 2015 324 (xxiv + 298) hlm; 12.5 x 19 cm Harga: Rp. 45.000, - "Ismail Amin itu anak muda yang sangat haus ilmu. Dia telah melakukan safar intelektual bahkan geografis untuk memuaskan dahaganya. Maka tak heran jika tulisan-tulisannya tidak biasa. Hati-hati, ia membongkar cara berpikir kita yang biasa. Tapi jangan khawatir, ia akan menawarkan cara berpikir yang sistematis. Dengan begitu, ia memudahkan kita membuat analisa dan kesimpulan. Coba buktikan saja sendiri." [Mustamin al-Mandary, Penikmat Buku. menerjemahkan Buku terjemahan Awsaf al-Asyraf karya Nasiruddin ath-Thusi, “Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa” diterbitkan Pustaka Zahra tahun 2003]. Jika berminat bisa menghubungi via SMS/Line/WA: 085299633567 [Nandar]

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ismail Amin -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -