Posted by : ismailamin
Senin, 21 September 2015
Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar
kata Ka’bah?. Bagi yang belum pernah melihat atau mendapatkan informasi tentang
Ka’bah kecuali bahwa Ka’bah sebagai arah kaum muslimin menghadapkan wajahnya
ketika berinteraksi ‘intim’ dengan Tuhannya, adalah wajar jika membayangkan
Ka’bah adalah sebuah bangunan yang megah dan indah. Itupula yang saya bayangkan
tentang Ka’bah di usia belum balighku dulu. Saya bayangkan Ka’bah berupa istana
megah, sebuah karya arsitektur yang indah, dibangun dengan cita rasa estetika
yang tinggi, penuh dengan ornamen-ornamen yang mahal, bisa jadi terbuat dari
emas, berlian atau pecahan-pecahan intan permata, penuh dengan warna-warna yang
menyejukkan mata. Pernah pula saya bayangkan dia berupa bangunan semacam menara
yang menjulang tinggi dimana didalamnya terkubur seorang tokoh manusia yang
penting, bisa seorang pahlawan, raja, imam, atau malah Nabi.
Tapi ternyata tidak! yang kita saksikan
dari Ka’bah hanyalah bangunan kubus yang sama sekali tidak memiliki keindahan
arsitektural, seni atau kualitas yang biasa kita saksikan pada
bangunan-bangunan yang diklaim sebagai keajaiban dunia, tidak ada warna-warni
sama sekali. Bangunan ini hanya terbuat dari batu-batu hitam keras yang
tersusun dengan cara yang sederhana, dengan kapur putih sebagai penutup
celah-celahnya. Dan di dalam bangunan persegi itu, pernah kubayangkan ada
bongkahan sesuatu yang selama ini dikejar-kejar manusia sebut saja, emas, intan
permata, atau mutiara manikam. Atau di dalamnya ada manusia tempat mencurahkan
perhatian, perasaan, tempat meminta wejangan dan nasihat agar lurus dalam
menjalani kehidupan. Sekali lagi semuanya itu terbantahkan, ternyata didalamnya
tidak ada-apa, sama sekali kosong! Tidak ada sesuatupun juga. Bisa jadi ketika
melihatnya timbul pertanyaan dan keraguan benarkah bangunan ini pusat agama,
shalat, cinta, hidup dan kematian kita? Benarkah Kubus yang yang tanpa dekorasi
ini adalah arah kaum muslimin menghadapkan wajahnya di dalam shalatnya,
benarkah dia pusat eksistensi, keyakinan, cinta dan kehidupan manusia bahkan ke
arah ini pula kaum muslimin yang mati dikuburkan? Apa yang dicari oleh mereka
yang berseliweran disekelilingnya, yang seolah melupakan segala yang
dimilikinya, ditempat itu mereka menumpahkan perasaan, tangis dan air mata,
bersimpuh penuh pengharapan, merendahkan diri serendah-rendahnya, menciumnya
dengan penuh perasaan cinta dan sedari sana timbul kerinduan mendalam untuk
kembali ?.
Abrahah pun heran dengan Ka’bah ini, ia
berusaha menyaingi, dengan membangun tempat peribadatan yang lebih megah dan
terbuat dari ornament yang sangat mahal bahkan bagi peziarah ia janjikan hadiah
yang banyak, tetap saja Ka’bah ramai dengan kerumunan orang. Kedengkiannya
semakin besar, ia bermaksud meruntuhkan Ka’bah, dengan ribuan pasukan yang
menunggang gajah ia menuju Makkah, kota tempat Ka’bah berdiri tegak. Ia dan
pasukannya menyangka akan mendapatkan perlawanan hebat dari penduduk Makkah
yang tidak ingin rumah ibadahnya dihancurkan. Setibanya disana, ia malah
mendapatkan tontonan yang membingungkan, tidak ada satupun penduduk Makkah yang
menjaga atau berusaha melindungi Kabah, semuanya menyelamatkan diri ke
bukit-bukit. Bahkan Abdul Muthalib, pembesar kaum Qurays menghadap ke Abrahah
hanya untuk mengambil unta-unta yang dirampas pasukan Abrahah. Tentang ini
Abdul Muthalib, Kakek Rasulullah hanya menjawab singkat, “Unta-unta ini milik
kami, karenanya kami harus mengambilnya kembali, sedangkan Ka’bah adalah rumah
Allah, Dia sendirilah yang memberinya penjagaan”. Ya, Ka’bah, bukan milik
siapa-siapa, ia milik Tuhan seutuhnya, tidak diberikan kesiapapun, tidak
diamanahkan apalagi diwariskan.
Patut engkau ketahui, meskipun rumah Allah,
Ka’bah tetap hanyalah bangunan. Hanyalah kumpulan batu gunung yang hitam pekat.
Ka’bah bukanlah tujuan dari kedatanganmu. Kesederhanaan Ka’bah yang kamu lihat
di hadapanmu mengingatkan akan tujuan perjalananmu. Ka’bah adalah penunjuk
arah. Ada hal lain yang harus menjadi tujuan akhir perjalananmu. Gerakan abadi
yang kamu lakukan adalah gerakan menuju Allah, bukan menuju Ka’bah. Kamu datang
untuk memenuhi undangan Allah. Setiap orang diantara kalian harus mengenakan
pakaian yang telah ditentukan, kamu tidak memiliki dirimu lagi, kamu harus
meleburkan diri dan tidak boleh memasuki rumah suci ini jika engkau masih
terikat dengan dirimu, masih memikirkan dirimu sendiri. Kesederhanaan Ka’bah
menunjukkan betapa kemewahan dan kemegahan bukanlah tujuan hidupmu. Ka’bah
adalah Baitullah, rumah Allah. Dibangun oleh Ibrahim atas perintah-Nya. Ketika
kau menghadapnya sesungguhnya merupakan tamparan keras buatmu, buatmu yang
membangun rumah dengan penuh ornamen mahal yang hanya akan membuatmu
pongah.
Haji, Menghampiri Allah
Kota Mekkah disebut juga “Bait-Atiq”.
Atiq berarti bebas. Kota ini tidak dimiliki siapapun juga. Tak seorangpun
berhak menguasainya. Kota ini milik Allah ‘sepenuhnya’. Dengan beberapa
ketentuan seorang muslim ketika bepergian atau melakukan perjalanan jauh dari
rumahnya boleh menyingkat shalat-shalatnya atau menggabungkannya. Tetapi di
kota Mekkah, darimanapun engkau datang dan betapapun jauhnya perjalanan yang
engkau tempuh, shalatmu harus sempurna dan tidak boleh disingkatkan. Sebab
kedatanganmu karena memenuhi panggilan, kamu bukanlah tamu, Mekkah negerimu
sendiri, kamu tidak sedang bepergian jauh, kamu melakukan perjalanan pulang ke
negerimu. Kedatanganmu disambut layaknya seorang sahabat dan anggota keluarga
Allah yang telah lama pergi, dan pulang kembali. Kembalilah engkau kepada-Nya,
dengan penuh kecintaan dan kerinduan.
Tidakkah engkau mendengar seruan Ibrahim
: "Dan serulah manusia untuk melakukan Haji. Mereka akan datang kepadamu
dengan bertelanjang kaki atau dengan menunggang unta yang kurus yang datang
dari segenap penjuru yang jauh." (Qs. 22 : 27) "Dan kepunyaan
Allah-lah Kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali semua makhluk."
(Qs. 24 : 42) Engkau harus menghadap dan pulang kepadanya dengan penuh
ketulusan hati, tidak dikotori oleh motif-motif lain. Ketulusan hati itu tampak
jelas dalam ayat Al-Quran yang memerintahkanmu berhaji. ''Karena Allah SWT,
wajib bagi manusia untuk menunaikan ibadah haji, yaitu bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke baitullah.'' (QS Ali Imran: 97). ''Dan sempurnakanlah
ibadah haji dan umrah karena Allah SWT.'' (QS Al-Baqarah: 196).
Perintah haji
dalam dua ayat di atas, ditekankan harus lillah, tulus karena Allah SWT.
Redaksi demikian tidak ditemukan di ayat lain yang isinya perintah untuk
beribadah, seperti shalat, zakat, dan puasa. Meskipun, pada dasarnya semua
ibadah harus lillah, terlebih lagi haji yang menuntut perjuangan dan
kerja keras, menguras apapun yang menjadi milikmu, lahir dan batin dalam waktu
yang tidak sedikit. Ibadah haji mencerminkan kepulangan seorang manusia kepada
Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tak diserupai oleh
sesuatu apapun. Pulang kepada Allah merupakan sebuah gerakan menuju
kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan
fakta-fakta.
Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini manusia tidak
akan “sampai” kepada Allah; Dia hanya memberikan petunjuk yang benar, tapi Dia
bukan merupakan tujuan yang hendak dicapai. Menunaikan haji sama halnya
menjumpai sahabat-terbaik yang telah menciptakan manusia sebaik-baik ciptaan
dari makhluk lain. Allah sedang menantikan. Dengan demikian kamu pun harus
mencoba untuk meninggalkan istana-istana kebesaran, gudang-gudang kekayaan dan
kuil-kuil yang menyesatkan. Manusia – melalui ibadah haji, akan melepaskan diri
dari perbuatan serigala (sebuah tindakan penindasan bagi orang-orang yang
dipimpinnya).
Hijir Ismail
Di sebelah barat Ka’bah ada sebuah tembok
rendah yang berbentuk setengah lingkaran dan menghadap ke Ka’bah. Bangunan ini
disebut Hijir Ismail. Hijir bisa berarti pangkuan juga bisa diartikan pakaian
wanita sebelah bawah. Tersebutlah dalam riwayat, Hajar adalah perempuan Ethopia
yang miskin. Ia sahaya dari Sarah istri Ibrahim. Hajar dinikahi Ibrahim untuk
memperoleh anak. Lahirlah Ismail. Kecemburuanlah yang membuat Sarah meminta
Ibrahim untuk ‘mengusirnya’. Oleh Ibrahim, dibawalah Hajar dan Ismail, yang
ketika itu masih bayi ke padang pasir yang luas, tidak terdapat apa-apa.
Di
atas pangkuan Hajarlah Ismail di besarkan. Hijir Ismail, adalah bangunan di
samping Ka’bah, tempat Hajar membesarkan Ismail, dan di situ pula Hajar, ibunda
Ismail dikuburkan. Dan Allah memerintahkanmu agar ketika melakukan thawaf juga
mengelilingi Hijir Ismail dan tidak hanya mengelilingi Ka’bah saja, jika tidak
demikian ibadah haji yang kamu lakukan tidak diterima Allah SWT. Subhanallah,
kuburan seorang sahaya perempuan hitam Afrika merupakan bagian dari Ka’bah, dan
hingga kiamat nanti manusia-manusia senantiasa akan berthawaf mengelilinginya.
Betapa anehnya, kepada hambanya yang terhina, terlemah dan terusir di antara
makhluk-makhluk-Nya, Allah memberikan tempat di sisiNya. Dia datang,
memerintahkan kepada Ibrahim untuk dibuatkan rumah, dan meminta dibangunkan di
sebelah rumah Hajar. Allah memilih menjadi tetangga seorang perempuan hitam
yang terusir. Ali Shariati menuliskan : Di antara semua manusia; Dia memilih
perempuan Di antara semua perempuan; Dia memilih seorang budak Di antara semua
budak; seorang sahaya yang berkulit hitam
Ketika kau mengetahui bahwa sesungguhnya
ritual-ritual haji yang kamu lakukan adalah untuk memperingati Hajar, seorang
budak perempuan hitam yang dihinakan dan diremehkan, masihkah engkau merasa lebih
tinggi dari manusia selainmu? Masih beranikah engkau sepulang dari ritual
hajimu kau membanggakan diri dan acuh terhadap kehidupan mereka yang
terpinggirkan secara sosial? Allah datang dan memilih bertetangga dengan
seseorang yang senantiasa terhina, kalau kamu bisa jadi lain, kamu datang untuk
menggusur mereka, karena bagimu mereka mengotori bangunanmu…
Wallahu ‘alam bisshawwab.
[tulisan ini salah satu item yang termuat dalam buku "Dalam Dekapan Ridha Allah" terbitan Intizar Press, Makassar 2015]