Posted by : ismailamin Jumat, 15 Mei 2015

Syiah sering dituding sebagai pendusta karena diyakini memiliki doktrin ‘taqiyyah’. Taqiyyah secara serampangan dipahami oleh pihak anti Syiah sebagai kedustaan, upaya menipu, mengecoh dan menyembunyikan yang diyakininya agar bisa dianggap sebagai bagian dari umat Islam, padahal hakikatnya Syiah dalam pandangan mereka adalah musuh Islam yang paling utama, kebencian Syiah terhadap umat Islam lebih dasyhat melebihi kebencian Yahudi. Syiah lebih jahat dan lebih berbahaya daripada musuh Islam lainnya (termasuk AS dan Zionis), karena berjubah Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Bahkan sekarang dipopulerkan tag line “Syiah adalah ancaman bagi Pancasila dan NKRI”  Benar2 tuduhan yang serius, sementara sipenuduh sendirilah yang selama ini berkoar-koar dipengajian dan di tabligh akbar mereka bahwa Pancasila dan NKRI adalah thagut yang harus ditolak, haram hukumnya menghormati bendera serta demokrasi adalah sistem yang kufur.

Dengan dalih Syiah pasti bertaqiyyah (yang mereka artikan berdusta) menjadi senjata pamungkas bagi kelompok anti Syiah untuk membungkam Syiah ketika hendak menunjukkan ketidak benaran fitnah-fitnah dan tuduhan-tuduhan yang menimpa mereka. Hasilnya, kita melihat, betapa umat Syiah hari ini diserang fitnah-fitnah yang membabi buta dan tuduhan-tuduhan yang bahkan sangat irasional, tanpa merasa perlu membeberkan bukti-buktinya. Bahkan ketika hendak meluruskan pemahaman mengenai taqiyyah sekalipun, muslim Syiah akan serta mendapat tudingan sedang bertaqiyyah (berdusta).

Ini sejumlah alasan mereka menyebut Syiah itu sebagai kaum pendusta.

Pertama, ucapan Imam2 besar Ahlus Sunnah yang mengatakan “Tidak ada kelompok yang paling pendusta kecuali Rafidah.” Ini sudah salah, yang mereka maksud adalah Rafidah, bukan Syiah. Apa sulitnya bagi ulama2 untuk menyebut kata Syiah, kalau yang mereka maksud adalah Syiah. Ulama adalah orang2 yang mendalam ilmunya dan sangat menginginkan umat selamat, maka tidak mungkin mereka mengeluarkan ucapan yang membingungkan, mengatakan Rafidah padahal yang mereka maksud adalah Syiah. Rafidah artinya adalah penolak dan penentang.

Bahkan istilah Rafidah pertama kali dipopulerkan dari kalangan Syiah sendiri. Golongan Syiah yang mencaci maki dan mengecam sahabat , digelari oleh Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin (yang diyakini Imam oleh Syiah Zaidiyah) sebagai kelompok Rafidhi. Rafidhi inilah yang dikecam bahkan dikafirkan oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah karena kebencian dan permusuhannya terhadap sahabat-sahabat Nabi Saw, bahkan juga dikecam oleh mayoritas ulama2 Syiah. Namun hari ini, semua kelompok Syiah diidentikkan sebagai Rafidhah secara keseluruhan. Bahwa siapapun yang menjadi Syiah pasti pelaknat dan pengecam sahabat dan istri-istri Nabi Saw. Sekalipun Ayatullah Sayyid Ali Khamanei, ulama marja taklid Syiah Itsna Asy’ariah yang menjadi rujukan mayoritas umat muslim Syiah diseluruh dunia memfatwakan keharamannya melakukan pelecehan dan penghinaan terhadap sahabat-sahabat dan istri-istri Nabi Saw, tetap saja gelar Rafidah disematkan kepada semua golongan Syiah, termasuk yang taat dalam menjalankan fatwa tersebut.

Bantahan kedua, tidak sedikit perawi2 yang bermazhab Syiah diterima periwayatannya dalam menukil hadits dari Rasulullah Saw. Bahkan diantara mereka disebut tsiqah oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Kalau Syiah adalah pendusta  secara keseluruhan bahkan terhitung sebagai orang kafir, tentu saja ulama-ulama ahli hadits menolak periwayatan mereka dan tidak memasukkan mereka dalam list perawi hadits yang tsiqah dan terpercaya.
Kedua, nukilan dari kitab-kitab hadits mu’tabar Syiah, bahwa Imam Ja’far Shadiq As berkata, “Taqiyyah adalah agamaku, dan agama nenek moyangku. Barangsiapa tidak melakukan taqiyyah, berarti ia tidak menjalankan agamanya.” (Al Kulaini, Ushul al Kafi, Kitab al Iman, bab al Taqiyah, juz 2, hlm. 222, hadits 11).

Dari perkataan Imam Ja’far Shadiq itulah yang kemudian dipelintir, bahwa agama Syiah adalah agama yang penuh dengan kedustaan. Bahwa untuk menjadi Syiah, harus menjadi pendusta, dan ketidak jujuran harus menjadi kebiasaannya. Setelah memperkosa makna Rafidah, sekarang mereka menyimpangkan makna taqiyah. Taqiyyah adalah bagian dari syariat Islam yang diakui keabsahannya oleh seluruh ulama Islam apapun mazhabnya untuk boleh diamalkan dalam kondisi2 tertentu. Taqiyyah adalah menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya dengan menampakkan hal yang sebaliknya dihadapan orang/kelompok yang mengancam keselamatan jiwanya, kehormatan dan hartanya jika ia mengatakan yang sesungguhnya. Jadi prinsip taqiyyah adalah mekanisme pertahanan diri untuk menjaga keselamatan jiwa dari bahaya dan kemungkinan-kemungkinan buruk. Jadi jika tidak ada ancaman terhadap keselamatan jiwa dan kehormatannya, maka muslim Syiah diharamkan untuk melakukan taqiyyah.

Begini penjelasan sederhananya. Misalkan seorang pasien setelah mendapatkan pemeriksaan medis dari dokter, ia akan bertanya, “Bagaimana Dok, penyakit saya apa ada kemungkinan sembuh?.” Sang dokter akan menjawab, “Dari hasil pemeriksaan, anda mesti bersabar dan berusaha untuk ttp optimis.”

“Bagaimana peluang kesembuhan saya dokter?”

Meskipun dokter tahu, bahwa kemungkinan hidup pasien tersebut tidak lama lagi, ia akan tetap berkata, “Insya Allah, semua penyakit ada obatnya. Insya Allah bapak akan segera sembuh.”

Salahkah dokter, ketika berkata pasiennya akan segera sembuh? Apakah itu dusta? Dan karena dusta, apa otomatis jadi terlarang dan haram hukumnya? Ataukah ada dusta yang dibolehkan dalam Islam? Bagaimana jika kedustaan dan kebohongan harus dilakukan untuk menghindari konflik dalam rumah tangga atau masyarakat, apakah itu terlarang juga? Apakah semua bentuk kedustaan adalah buruk? Atau kedustaan bisa menjadi bahkan dianjurkan jika itu untuk kebaikan?.

Tentu jawaban bagi yang masih memiliki akal sehat, bahwa tidak semua kebohongan itu buruk. Kebohongan yang dilakukan untuk mendapatkan kebaikan, justru dianjurkan dalam agama. Nah, kebohongan dan kedustaan yang bertujuan baik inilah yang disebut taqiyyah. Yang tentu hukumnya jika memenuhi syarat-syaratnya, menjadi dianjurkan dan halal. Sebagaimana sahabat Nabi Saw, Ammar bin Yasir ra pernah melakukannya ketika tidak tahan lagi dengan penyiksaan yang didapatkannya dari orang2 kafir Quraysh. Meskipun saat itu, ia terpaksa mengucapkan kalimat kekufuran, namun hal tersebut tidak menodai imannya. Peristiwa ini menjadi asbabun nuzul turunnya surah An Nahl ayat 106.  Meski demikian, juga bisa tetap tidak mau mengikuti apa yang dipaksakan orang kafir, sebagaimana yang dilakukan Bilal bin Ra’bah ra.

Apakah seorang yang Syiah salah, ketika mengaku bukan Syiah dihadapan orang yang akan memfitnah, memusuhi bahkan menumpahkan darahnya jika ia mengaku Syiah?. Seorang Sunnipun akan melakukan taqiyyah dihadapan seseorang yang akan mengancam keselamatan jiwanya jika dia mengaku Sunni. Ini bukan soal keberanian atau bukan, bukan masalah kebenaran harus ditunjukkan, ini masalah mana yang seharusnya lebih diprioritaskan, kapan kebenaran yang dinyatakan itu bisa mencapai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam bukunya Pemerintahan Islam,  Imam Khomeini ra menulis, “Seseorang hanya dibolehkan taqiyyah, jika nyawanya terancam, sedangkan pada kasus dimana agama Allah Swt yaitu Islam dalam keadaan terancam, taqiyyah tidak boleh dilakukan, meskipun ia sampai harus kehilangan nyawanya.”

Coba bayangkan, disaat umat Islam ditindas dan diintimidasi diberbagai Negara-negara yang mayoritas non muslim, mereka dilarang untuk menampakkan syiar-syiar Islam, dan akan mendapat ancaman bunuh jika mereka dengan bangga menunjukkan keislamannya, maka dapat dipastikan, umat Islam ditempat tersebut akan punah tak bersisa, jika ngotot memaksakan diri membangun masjid dan melantunkan azan disetiap menjelang masuknya waktu shalat. Maka langkah yang semestinya ditempuh, adalah menyembunyikan keislamannnya dan melakukan amalan wajibnya dengan sembunyi-sembunyi. Ini tidak ada perbedaannya, yang mengancam keselamatan adalah orang kafir atau sesama muslim. Taqiyyah adalah mekanisme pertahanan diri, agar bisa melangsungkan hidup dibawah ancaman siapapun, ini adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai bentuk dari kemurahanNya. Apa bedanya, yang mengancam itu seorang yang kafir atau seorang muslim, yang ancamannya sama, yaitu keselamatanmu terganggu jika memberikan pengakuan yang sesunggguhnya.

Ditinjau dari tujuannya, ulama membagi taqiyyah menjadi dua. Taqiyyah Makhfatiyyah dan taqiyyah madaratiyyah.  Taqiyyah makhfatiyyah dilakukan dengan tujuan menyelamatkan diri dari bahaya. Sementara Taqiyyah madaratiyyah dilakukan untuk menjaga perasaan mereka yang berbeda dengannya agar tetap terjalin hubungan yang baik, menghindarkan fitnah yang meresahkan atau demi terealisasinya persatuan umat Islam.
Jadi hanya ada dua tujuan seorang Syiah melakukan taqiyyah, yaitu agar ia tidak dibunuh, terlebih lagi jika berhadapan dengan seseorang/kelompok yang meyakini, menumpahkan darah pengikut Syiah wajib hukumnya bahkan merupakan jalan taqarrub ilallah yang paling cepat (wallahu al musta’an). Atau ia melakukannya, dengan tujuan untuk menjaga persatuan umat Islam, agar umat Islam tidak berlarut-larut memperselisihkan perbedaan mazhab, sementara agenda umat lainnya masih banyak yang semestinya didahulukan. Singkatnya, taqiyyah dilakukan, untuk kebaikan dirinya (agar tidak dibunuh), atau untuk kebaikan ummat Islam (agar tidak berpecah belah). Dan berbohong untuk kebaikan, tidak diperselisihkan kebolehannya.

Kesimpulannya, Syiah berbohong untuk mempersatukan ummat… sementara mereka yang membenci Syiah, berbohong untuk memecah belah ummat, dengan menyerang Syiah melalui fitnah-fitnah yang tidak bisa mereka buktikan kebenarannya…   

Tentu saja, taqiyyah dihadapan sesama muslim, tidak lagi diperlukan, jika semua umat Islam mampu menerima realitas adanya perbedaan dari mazhab-mazhab Islam yang ada dan bisa menumbuhkan kehidupan yang saling menghargai dan menghormati, tidak memaksakan pendapat kepihak yang lain, sehingga kemudian yang terjalin adalah interaksi dan hubungan yang hangat sesama umat Islam.  

Kita tidak harus berpikir sama, tapi marilah sama-sama berpikir…

Selamat berpikir…

Qom, 16 Maret 2015

{ 7 komentar... read them below or Comment }

  1. Dari peristiwa2 pengkhianatan2 ketika mereka diberi kepercayaan sampai mereka punya kekuatan selalu menusuk kaum muslim dari belakang dati pengkhianatan syiah sehingga baghdad jatuh ke orang mongol, pembantaian haji oleh krajaan syiah qaraamithah

    mam Malik –rahimahullah- (w 179) berkata, “Orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki tempat dalam Islam.” (Sunnah, Al Khallal, 1/493)

    Beliau juga pernah ditanya bagaimana menyikapi orang-orang rafidhah, maka ia menjawab, “Jangan berbicara kepada mereka dan jangan bersikap manis, karena mereka semua pendusta.” (Minhaj Sunnah, 1/61)

    Al Qadhi Abu Yusuf –rahimahullah- (w 182) berkata, “Saya tidak shalat dibelakang seorang Jahmi, Rafidhi (penganut syi’ah rafidhah) dan qadari (penganut qadariyyah).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 4/733)

    Imam Syafi’i –rahimahullah- (w 204) berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari kalangan pengekor hawa nafsu yang paling berdusta dalam pengakuan dan paling palsu dalam kesaksian melebihi orang-orang rafidah.” (Ibnu Bathah dalam Al Ibanah Al Kubra, 2/545)

    Muhammad bin Yususf Al Faryabi –rahimahullah- (w 212) berkata, “Saya tidak memandang orang-orang rafidhah dan jahmiyah melainkan kezindikan (kufur).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 8/1457)

    BalasHapus
  2. Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- (w 241) ketika ditanya oleh anak beliau Abdullah bin Ahmad perihal orang yang mencela seorang sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berkata, “Aku tidak memandangnya berada diatas Islam.” (Sunnah, Al Khallal, 1/493)

    Imam Bukhari –rahimahullah- (w 256) berkata, “Aku shalat dibelakang seorang jahmi atau rafidhy sama dengan shalat dibelakang yahudi atau nasrani. Tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, membantu mereka, menikah, memberi kesaksian dan memakan sembelihan-sembelihan mereka.” (Khalq af’aal Al Ibaad, hal. 125)

    Abu Bakar Ibnul Arabi –rahimahullah- (w 543) berkata, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak merasa ridha dengan para sahabat Nabi Musa dan Nabi Isa. Orang-orang rafidhah pun tidak merasa ridha dengan para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mereka menghukumi bahwa para sahabat Nabi itu telah bersepakat dalam kekufuran dan kebatilan.” (Al ‘Awashim wal Qawashim, hal. 192)

    BalasHapus
  3. Ibnul Jauzi –rahimahullah- (w 597) berkata, “Sikap berlebihan orang-orang rafidhah dalam mencintai Ali radhiyallahu ‘anhu telah membuat mereka mengarang hadis-hadis palsu yang sangat banyak tentang keutamaan Ali, yang kebanyakannya malah memperburuk Ali. Mereka juga memiliki madzhab-madzhab dalam fikih yang dibuat-buat, khurafat-khurafat yang menyelisihi ijma dalam banyak permasalahan … Keburukan-keburukan rafidhah tidak terhitung jumlahnya.” (Talbis Iblis, hal. 136-137)

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- (w 728) berkata, “Allah mengetahui, dan cukuplah Allah yang Mahamengetahui, tidak adalah dalam seluruh kelompok yang menisbatkan kepada Islam dengan kebid’ahan dan kesesatan yang lebih parah dari mereka (orang-orang syi’ah rafidhah), tidak adalah yang lebih bodoh, lebih pendusta, lebih zalim, lebih dekat kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, serta lebih jauh dari hakikat iman melebihi mereka (orang-orang syi’ah rafidah).” (Minhaj Sunnah, 1/160)

    Beliau juga berkata, “Mereka orang-orang rafidah itu, jika tidak munafik, maka bodoh. Tidak ada orang jahmiyah dan tidak ada orang rafidhah kecuali ia itu munafik atau bodoh dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu pun dari mereka yang alim tentang ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhaj Sunnah, 1/161)

    Ibnul Qayyim –rahimahullah- (w 751) berkata, “Orang-orang rafidah mengeluarkan kekufuran, celaan terhadap para tokoh sahabat, golongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pembela dan penolongnya dibalik nama cinta terhadap ahli bait, fanatisme dan loyalitas terhadap mereka.” (Ighastatul Lahfaan, 2/75)

    Ibnu Katsir –rahimahullah- (w 774) berkata, “Akan tetapi mereka itu (orang-orang syi’ah rafidhah) adalah kelompok yang sesat, golongan yang rendah, mereka berpegang kepada dalil-dalil yang mutasyabih (samar) dan meninggalkan perkara-perkara yang muhkamah (jelas) disisi para ulama Islam.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/251)

    Komisi Tetap Untuk Fatwa dan Riset Kerajaan Saudi Arabia ditanya tentang akidah Syi’ah, mereka menjawab, “Aliran Syi’ah imamiyyah itsna asyriyyah adalah madzhab bid’ah dalam Islam, pokoknya dan juga cabangnya.”

    Dalam fatwa yang lain, “Sesungguhnya Syi’ah Imamiyyah itsna ‘asyriyyah telah menukilkan dalam buku-buku mereka dari tokoh-tokoh mereka bahwa Alquran yang dikumpulkan oleh Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu anhu melalui para penghapal Alquran di kalangan para sahabat itu terjadi perubahan dengan tambahan dan pengurangan serta penggantian sebagian kata dan kalimatnya, begitu pula dengan penghapusan sebagian ayat dan surat. Hal itu terdapat dalam kitab “Fashlul Khithab fii Tahriif Kitab Rabbil Arbaab” yang ditulis oleh Husain bin Muhammad Taqiyyun Nuri Ath Thabrasi tentang perubahan Alquran. Begitu juga dalam buku-buku yang lain yang ditulis untuk membela rafidah dan mendukung aliran mereka seperti “Minhaj Al Karamah” karya Ibnul Muthahhir.

    Mereka juga berpaling dari kitab-kitab sunnah yang shahih seperti shahih Bukhari dan Muslim. Mereka tidak menganggapnya sebagai rujukan dalam berdalil atas hukum-hukum, baik dalam masalah akidah atau pun fikih. Mereka juga tidak memakainya dalam menafsirkan dan menjelaskan Alquran …” (1/268 fatwa no. 9420)

    BalasHapus
  4. Imam Syafi’i –rahimahullah- (w 204) berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari kalangan pengekor hawa nafsu yang paling berdusta dalam pengakuan dan paling palsu dalam kesaksian melebihi orang-orang rafidah.” (Ibnu Bathah dalam Al Ibanah Al Kubra, 2/545)

    BalasHapus
  5. Imam Syafi’i –rahimahullah- (w 204) berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari kalangan pengekor hawa nafsu yang paling berdusta dalam pengakuan dan paling palsu dalam kesaksian melebihi orang-orang rafidah.” (Ibnu Bathah dalam Al Ibanah Al Kubra, 2/545)

    BalasHapus
  6. Ibnul Jauzi –rahimahullah- (w 597) berkata, “Sikap berlebihan orang-orang rafidhah dalam mencintai Ali radhiyallahu ‘anhu telah membuat mereka mengarang hadis-hadis palsu yang sangat banyak tentang keutamaan Ali, yang kebanyakannya malah memperburuk Ali. Mereka juga memiliki madzhab-madzhab dalam fikih yang dibuat-buat, khurafat-khurafat yang menyelisihi ijma dalam banyak permasalahan … Keburukan-keburukan rafidhah tidak terhitung jumlahnya.” (Talbis Iblis, hal. 136-137)

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- (w 728) berkata, “Allah mengetahui, dan cukuplah Allah yang Mahamengetahui, tidak adalah dalam seluruh kelompok yang menisbatkan kepada Islam dengan kebid’ahan dan kesesatan yang lebih parah dari mereka (orang-orang syi’ah rafidhah), tidak adalah yang lebih bodoh, lebih pendusta, lebih zalim, lebih dekat kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, serta lebih jauh dari hakikat iman melebihi mereka (orang-orang syi’ah rafidah).” (Minhaj Sunnah, 1/160)

    Beliau juga berkata, “Mereka orang-orang rafidah itu, jika tidak munafik, maka bodoh. Tidak ada orang jahmiyah dan tidak ada orang rafidhah kecuali ia itu munafik atau bodoh dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu pun dari mereka yang alim tentang ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhaj Sunnah, 1/161)

    Ibnul Qayyim –rahimahullah- (w 751) berkata, “Orang-orang rafidah mengeluarkan kekufuran, celaan terhadap para tokoh sahabat, golongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pembela dan penolongnya dibalik nama cinta terhadap ahli bait, fanatisme dan loyalitas terhadap mereka.” (Ighastatul Lahfaan, 2/75)

    Ibnu Katsir –rahimahullah- (w 774) berkata, “Akan tetapi mereka itu (orang-orang syi’ah rafidhah) adalah kelompok yang sesat, golongan yang rendah, mereka berpegang kepada dalil-dalil yang mutasyabih (samar) dan meninggalkan perkara-perkara yang muhkamah (jelas) disisi para ulama Islam.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/251)

    Komisi Tetap Untuk Fatwa dan Riset Kerajaan Saudi Arabia ditanya tentang akidah Syi’ah, mereka menjawab, “Aliran Syi’ah imamiyyah itsna asyriyyah adalah madzhab bid’ah dalam Islam, pokoknya dan juga cabangnya.”

    Dalam fatwa yang lain, “Sesungguhnya Syi’ah Imamiyyah itsna ‘asyriyyah telah menukilkan dalam buku-buku mereka dari tokoh-tokoh mereka bahwa Alquran yang dikumpulkan oleh Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu anhu melalui para penghapal Alquran di kalangan para sahabat itu terjadi perubahan dengan tambahan dan pengurangan serta penggantian sebagian kata dan kalimatnya, begitu pula dengan penghapusan sebagian ayat dan surat. Hal itu terdapat dalam kitab “Fashlul Khithab fii Tahriif Kitab Rabbil Arbaab” yang ditulis oleh Husain bin Muhammad Taqiyyun Nuri Ath Thabrasi tentang perubahan Alquran. Begitu juga dalam buku-buku yang lain yang ditulis untuk membela rafidah dan mendukung aliran mereka seperti “Minhaj Al Karamah” karya Ibnul Muthahhir.

    Mereka juga berpaling dari kitab-kitab sunnah yang shahih seperti shahih Bukhari dan Muslim. Mereka tidak menganggapnya sebagai rujukan dalam berdalil atas hukum-hukum, baik dalam masalah akidah atau pun fikih. Mereka juga tidak memakainya dalam menafsirkan dan menjelaskan Alquran …” (1/268 fatwa no. 9420)

    BalasHapus
  7. Membaca komentar2 di atas, yang dimaksud adalah rafidhoh ya..... itu selaras dengan tulisan termuat bahwa penulis juga mengatakan ttg rafidhoh, dan rafidhoh bukan syi'ah.

    Dan dalam perjalanan waktu, syi'ah pun terpecah-pecah menjadi beberapa sekte lagi. Hal ini spt halnya yang terjadi pada sunni, juga terpecah-pecah menjadi beberapa sekte, yang antara lain ada bentukan al-qaedah dan isis yang bahkan banyak dari kalangan sunni menolak mereka. Jadi jika adil... maka kita harus bisa paham bahwa rafidhoh berbeda dengan syi'ah.

    BalasHapus

Welcome to My Blog

Tentang Saya

Foto saya
Lahir di Makassar, 6 Maret 1983. Sekolah dari tingkat dasar sampai SMA di Bulukumba, 150 km dari Makassar. Tahun 2001 masuk Universitas Negeri Makassar jurusan Matematika. Sempat juga kuliah di Ma’had Al Birr Unismuh tahun 2005. Dan tahun 2007 meninggalkan tanah air untuk menimba ilmu agama di kota Qom, Republik Islam Iran. Sampai sekarang masih menetap sementara di Qom bersama istri dan dua orang anak, Hawra Miftahul Jannah dan Muhammad Husain Fadhlullah.

Promosi Karya

Promosi Karya
Dalam Dekapan Ridha Allah Makassar : Penerbit Intizar, cet I Mei 2015 324 (xxiv + 298) hlm; 12.5 x 19 cm Harga: Rp. 45.000, - "Ismail Amin itu anak muda yang sangat haus ilmu. Dia telah melakukan safar intelektual bahkan geografis untuk memuaskan dahaganya. Maka tak heran jika tulisan-tulisannya tidak biasa. Hati-hati, ia membongkar cara berpikir kita yang biasa. Tapi jangan khawatir, ia akan menawarkan cara berpikir yang sistematis. Dengan begitu, ia memudahkan kita membuat analisa dan kesimpulan. Coba buktikan saja sendiri." [Mustamin al-Mandary, Penikmat Buku. menerjemahkan Buku terjemahan Awsaf al-Asyraf karya Nasiruddin ath-Thusi, “Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa” diterbitkan Pustaka Zahra tahun 2003]. Jika berminat bisa menghubungi via SMS/Line/WA: 085299633567 [Nandar]

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ismail Amin -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -