Posted by : ismailamin Jumat, 15 Mei 2015

Dari Sabrah r.a katanya, “Bahwa Rasulullah saw pada permulaan penaklukan kota Makah telah menganjurkan nikah Mut’ah kepada anggota pasukan kami. Tetapi kemudian sebelum meninggalkan kota itu, beliau telah melarangnya pula.”

(Shahih Muslim Jilid II, bab Perkawinan)

Semua mazhab dalam Islam sepakat, Nikah Mut'ah (selanjutnya kita sebut MT) pernah dihalalkan Nabi bahkan dianjurkan. Sehingga dipraktikkan oleh sejumlah sahabat. Semua meyakini itu. Bedanya, Ahlus Sunnah dengan riwayat-riwayat yang mereka shahihkan menyebutkan MT telah dilarang dan diharamkan sampai kiamat oleh Nabi Saw sendiri. Kapan pengharaman itu dilakukan? Dalam Shahih Muslim disebutkan beberapa riwayat yang menyebutkan versi yang berbeda: Diharamkan saat peperangan penaklukan kota Mekkah, pada saat haji wada dan pada perang Khaibar. (Baca Shahih Muslim Jilid II bab Perkawinan). 

Kesemua riwayat tersebut disebut shahih. Sementara versi Syiah, adanya kesimpangsiuran riwayat pengharaman MT tersebut menjadi hal pengharamannya diragukan, sebab diliteratur lain, yang mengharamkan justru Khalifah Umar bukan Nabi, dan masih sempat dipraktikkan dimasa kekhalifaan Abu Bakar.

Juga masih dari Shahih Muslim: Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata: “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw, dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya karena kasus Amr ibn Huraits.” [Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi 9,183]

Kesimpulannya: Nikah MT, dianjurkan Nabi dan diamalkan sahabat. Jadi menyebut MT sebagai perzinaan dan praktik pelacuran adalah penghinaan besar terhadap Nabi dan Islam sebab menyebut Nabi pernah menganjurkan perzinahan dan praktik pelacuran untuk diamalkan sahabat-sahabatnya. Nauzubillah. Kalau dalihnya, memang pernah dianjurkan dan setelah itu diharamkan, dan jika melakukan pasca pengharamannya maka itu adalah bentuk perzinahan. Logiskah hal tersebut? Jika itu memang tidak baik, mengapa dianjurkan Nabi, dan kalaupun itu baik, mengapa diharamkan?. Tidak ada kasus dalam Islam sebelumnya dianjurkan kemudian diharamkan, kecuali MT. Sering dijadikan analogi adalah pengharaman khamar yang katanya sebelumnya dihalalkan. Anologi itu salah besar. Islam tidak pernah menganjurkan meminum Khamar, yang ada adalah pengharaman dan pelarangannya yang butuh proses dan waktu. Lihat proses itu:

Pertama, Allah SWT menjelaskan, bahwa dari buah kurma dan anggur manusia bisa membuat minuman yang memabukkan, dan juga bisa menjadikannya sesuatu yang menghasilkan rezeki yang baik. Disini belum ada pelarangannya. Hanya membatas memberi informasi. (Baca Qs. An Nahl: 67)

Kedua, Allah SWT menyebut, minum Khamar ada manfaatnya tapi madharatnya lebih besar. Disini, Allah baru menginformasikan kerugiannya lebih besar. (Baca Qs. Al Baqarah: 219)

Ketiga, Allah melarang minum khamar hanya pada saat akan shalat. Shalat harus dikerjakan dengan khusyuk dan sadar dengan apa yang diucapkan. Shalat dalam keadaan mabuk dilarang. Jadi belum dilarang total. (Baca: Qs. An Nisaa: 43)

Keempat, Allah menjelaskan minum khamar itu perbuatan syaitan. Masih sebatas memberi informasi juga. (Baca: Qs. Al Maidah: 90)

Terakhir, melarang dan mengharamkan, karena minum khamar dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian sesama muslim dan menghalangi dari mengingat Allah. (Baca: Qs Al Maidah: 91)

Mengapa harus melalui lima proses tersebut? Islam itu agama yang hendak memberi kemudahan bagi umat manusia, bukan menjadi malapetaka. Jika Islam sejak awal langsung mengharamkan hal-hal yang telah menjadi tradisi dan mendarah daging dalam masyarakat Arab Quraysh saat itu, maka Islam akan dijauhi, sebab tentu akan sulit bagi mereka langsung meninggalkan yang telah menjadi kebiasaan mereka. Intinya, dari kelima proses pengharaman itu, tidak terdapat penganjuran untuk minum khamar. Tidak juga disebutkan, "Dihalalkan bagi kamu khamar!". Tidak di Qur'an tidak juga di hadits. Yang ada hanya belum haram saja. Nah, kalau nikah MT, kok malah ada pengajurannya?. Lantas kemudian diharamkan alasannya apa? Mengapa tidak dijelaskan Nabi?.

Oleh pakar-pakar Islam kemudian (mungkin malah lebih pakar dari Nabi) katanya diantara alasannya, MT tidak menghormati, pelecehan dan tidak adil terhadap perempuan. Lho, apa Nabi ketika menganjurkannya beliau sedang menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk melecehkan perempuan? Apa ketika Nabi mengizinkan untuk sahabat-sahabat mengamalkannya beliau sedang berlaku tidak adil pada perempuan? Apa ketika nabi membolehkan, tidak sama dengan nabi membolehkan perempuan menjadi bahan murahan dan dipindahtangankan begitu mudah? Bukankah Nabi paling tinggi penghormatannya terhadap kaum perempuan? Atau tidak?

Alasannya lagi: Pembolehan mut’ah membuka peluang bagi pemuda dan pemudi yang bobrok akhlak dan kepribadiannya untuk semakin tenggelam dalam kubangan dosa, sehingga hal tersebut akan merusak citra agama dan orang-orang yang taat beragama. Apa Nabi ketika membolehkan itu bermaksud agar sahabat-sahabatnya tetap bobrok akhlak dan kepribadiannya?

Alasan yang lain: Nikah MT dapat menghancurkan lembaga pernikahan, merusak keutuhan keluarga dan bercampurnya nasab. Apa Nabi ketika mengizinkannya, nabi hendak merusak rumah tangga sahabat-sahabatnya? Hendak membiarkan nasab keturunan sahabatnya bercampur aduk dan jadi tidak jelas?

Katanya, MT dapat menjadi penyebab tersebarnya penyakit menular. Apa Nabi ketika mengizinkan itu tidak tahu efek dari MT sebahaya itu? Atau baru menyadarinya belakangan, makanya kemudian baru diharamkan?. Atau memang dimasa sahabat penyakit itu sudah menyebar karena mereka telah mengamalkannya?

Nabi Saw, adalah utusan Allah, apa-apa yang disampaikannya itu bukan kehendaknya sendiri, melainkan wahyu dari Allah.  و ما ينطق عن الهوى ان هو الّا وحي يوحى

Atau kita mau menuduh Allah SWT plin plan dalam memberi hukum?

Tuduhan lainnya, MT itu boleh dilakukan serampangan, modalnya suka sama suka, dengan siapapun bahkan dengan istri orang sekalipun dan tanpa perlu persetujuan wali nikah. Nauzubillah keji benar ya membuat fitnah?.

Nikah MT yang dianjurkan dan dibolehkan dimasa Nabi, hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku berkenaan dengan MT pada masa itu, itu juga yang akan terus berlaku pasca wafatnya Nabi. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang dikurangi, dan tidak ada pula yang ditambah-tambahkan. Apa mau menuduh Nabi menganjurkan sahabatnya menikahi istri sahabatnya yang lain?. Jika ada yang melakukan demikin, maka itu bukan MT namanya, sebab telah menyimpang dari ketentuan syar'i.

Ini diantara syarat-syarat dan ketentuannya, bisa dirujuk di Taudhihul Masail para marja’, jil. 2, hal. 449; Tahrirul Wasilah, jil 2, hal 701, bukan dikonsultasi syariah punya orang-orang yang anti Syiah:

1. Membacakan akad nikah. Jadi kerelaan kedua belah pihak pasangan saja tidaklah cukup. (Akad nikah pun ada tata-caranya).

2. Secara ihtiath wajib akad nikah harus dibacakan dengan bahasa Arab. Namun jika sesorang sama sekali tidak bisa mengucapkannya dengan bahasa Arab, maka dapat membacakan akad ijab dan qabul dengan bahasanya sendiri dengan syarat mengandung ungkapan ijab qabul.

3. Menyebutkan mahar saat akad, dan batas waktu pernikahan dalam mut’ah.

4. Yang membaca akad nikah harus baligh.

5. Perempuan yang hendak dinikahi, jika ia telah baligh, rasyidah (mengerti maslahat dirinya sendiri) dan perawan maka harus meminta izin ayah atau kakeknya. Namun jika ia sudah tidak perawan, dan ketidak perawanannya itu disebabkan ia pernah menikah sebelumnya, maka ijin ayah atau kakek tidak diperlukan.

6. Perempuan yang hendak menikah mut’ah tidak boleh berada dalam tali ikatan pernikahan dengan lelaki lain. Jadi bego yang selalu saja ketika membahas masalah mut'ah langsung bertanya, bolehkah saya menikahi mut'ah ibu dan istrimu?                                                                                                                      
7. Lelaki dan perempuan rela dengan pernikahan dan tidak menikah karena keterpaksaan.                         
   
8. Memiliki masa iddah sama halnya yang berlaku pada nika da'im. 
Jadi dusta, yang selalu mengatakan, perempuan yang dinikahi mut’ah itu seperti [maaf] pelacur, karena bisa gonta-ganti pasangan dalam semalam.. 

Intinya, nikah mut'ah tidak jauh beda dengan nikah poligami. Menerima kehalalannya tidak meniscayakan harus diamalkan. Keputusannya ada ditangan si perempuan. Dia punya hak penuh, mau melakukannya atau tidak. 

Akh, ini saja dulu… semoga bermanfaat.. ^_^

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. pada masa sekarang nikah mut'ah itu masih boleh apa tidak, menutur pak ismail amin?

    BalasHapus

Welcome to My Blog

Tentang Saya

Foto saya
Lahir di Makassar, 6 Maret 1983. Sekolah dari tingkat dasar sampai SMA di Bulukumba, 150 km dari Makassar. Tahun 2001 masuk Universitas Negeri Makassar jurusan Matematika. Sempat juga kuliah di Ma’had Al Birr Unismuh tahun 2005. Dan tahun 2007 meninggalkan tanah air untuk menimba ilmu agama di kota Qom, Republik Islam Iran. Sampai sekarang masih menetap sementara di Qom bersama istri dan dua orang anak, Hawra Miftahul Jannah dan Muhammad Husain Fadhlullah.

Promosi Karya

Promosi Karya
Dalam Dekapan Ridha Allah Makassar : Penerbit Intizar, cet I Mei 2015 324 (xxiv + 298) hlm; 12.5 x 19 cm Harga: Rp. 45.000, - "Ismail Amin itu anak muda yang sangat haus ilmu. Dia telah melakukan safar intelektual bahkan geografis untuk memuaskan dahaganya. Maka tak heran jika tulisan-tulisannya tidak biasa. Hati-hati, ia membongkar cara berpikir kita yang biasa. Tapi jangan khawatir, ia akan menawarkan cara berpikir yang sistematis. Dengan begitu, ia memudahkan kita membuat analisa dan kesimpulan. Coba buktikan saja sendiri." [Mustamin al-Mandary, Penikmat Buku. menerjemahkan Buku terjemahan Awsaf al-Asyraf karya Nasiruddin ath-Thusi, “Menyucikan Hati Menyempurnakan Jiwa” diterbitkan Pustaka Zahra tahun 2003]. Jika berminat bisa menghubungi via SMS/Line/WA: 085299633567 [Nandar]

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Ismail Amin -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -