Posted by : ismailamin
Sabtu, 18 April 2015
Saya heran dengan sikap sekelompok
orang [yang herannya sama persis, seperti habis keluar dari pabrik yang sama]
yang ketika diberikan bantahan dengan cara yang baik dan santun atas tuduhan-tuduhan tidak berdasar yang mereka gencarkan [itupun mereka sampaikan dengan berargumen
dengan cara-cara yang kotor], mereka akan berkata, “Akh, jangan sok santun, jangan
lebay, ketahuan kok, kau hanya mau menipu. Pura-pura baik itu karena minoritas,
tapi kalau mayoritas, malah berbahaya.”
Tapi ketika tudingannya yang kadang
irrasional tersebut ditanggapi dengan umpatan, caci maki dan olok-olol, mereka
malah makin keranjingan, karena meyakininya, dihina dan dilecehkan itu resiko dari
menyampaikan kebenaran. Padahal tidak semua orang yang dihina itu menunjukkan
bahwa dia benar, sebab mereka yang melakukan hal-hal yang hina, juga memang
sering dihina.
Membalas tudingan dan penghinaan,
juga dengan cara-cara yang kasar dan ungkapan-ungkapan yang melecehkan tidak dibenarkan. Bahkan
membuat mereka makin menjadi-jadi.
Setidaknya ada empat hal yang mesti
kita lakukan, sebagaimana petunjuk Al-Qur’an.
Pertama, berdoa.
Dilecehkan ketika menyampaikan
dakwah, juga pernah dialami oleh para Anbiyah As, dan itu telah menjadi
sunnatullah bagi penerus dakwah Anbiyah As, untuk juga mengalami hal yang sama.
Nabi Musa As ketika dilecehkan ummatnya, beliau berdoa, “"Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang
dari orang-orang yang jahil".
[Qs. Al-Baqarah: 67]
Kedua, meyakini bahwa usaha untuk
membuat semua orang harus sependapat dengan kita, adalah usaha yang sia-sia,
bahkan dalam terminologi Al-Qur’an, berkeinginan keras agar semua orang dalam
petunjuk yang dengan itu memaksa diri atau memaksa orang lain adalah termasuk
keinginan jahiliyah. “Kalau Allah menghendaki, tentu
saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk sebab itu janganlah
sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang jahil.” [Qs. Al An’am: 35]
Jadi tetaplah menjaga kesehatan akal
dan berlaku rasional, bahwa kewajiban kita hanyalah menyampaikan, jika mereka
tidak mau menerima, maka biarkan saja, sebab pada dasarnya ia siap menerima
konsekwensi apapun yang terjadi setelah itu.
Ketiga, tetap mengucapkan kalimat yang
mengandung keselamatan dan perdamaian.
Salah satu akhlak Nabi Muhammad Saw
adalah tetap berlaku baik hatta termasuk kepada orang yang menghina dan
melecehkannya. Jadi jangan membalas perkataan buruk orang lain, dengan ungkapan
buruk juga, sebab itu menunjukkan, tidak bedanya kita dengan mereka. Justru
untuk menunjukkan bahwa kita makhluk mulia, maka hanya pemuliaan yang
semestinya kita lakukan. Hargailah orang lain, bukan karena dia siapa, tapi
karena kau siapa. Allah Swt berfirman, “Dan hamba-hamba
Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan. [Qs. Al- Furqan: 63]
Keempat, langkah selanjutnya adalah meninggalkan.
Kita jangan membuang-buang waktu
untuk hal yang tidak bermanfaat. Jika kita sudah menyampaikan pendapat kita,
namun dilecehkan dan tidak dibantah dengan cara yang argumentatif, maka
berhentilah, jangan layani nafsu berdebatnya. Seorang muslim, hanya ada dua
pilihan baginya, berkata benar, atau diam. Diam terkadang jauh lebih baik
daripada menjelaskan, karena akan menyakitkan, bila mereka bisa mendengarkan
tapi tidak mau mengerti.
Satu hal yang perlu kita yakini, kita
tidak diminta pertanggungjawaban atas keyakinan dan amalan orang lain, kita
hanya dimintai pertanggungjawaban mengenai metode dan cara kita menyampaikan
pendapat kita pada orang lain. Al-Qur’an menasehatkan, “Dan
apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil." [Qs.
Al Qashash: 55]
So, inilah langkah Qur’ani yang
semestinya kita tempuh. Kita bisa menambahkan dengan mendoakan yang
bersangkutan agar bisa dibukakan hati dan pikirannya, agar mau menerima
keberadaan pendapat yang berbeda.
Kalau ada yang mengencingi dinding
masjid, maka biarkanlah sampai ia menyelesaikan hajatnya baru kemudian kau
nasehati, sebagaimana Rasulullah pernah mencontohkan saat seorang Arab Badui
mengencingi dinding masjid. Kau bentak dan usir, saat dia masih sedang kencing,
sama halnya kau membiarkan air kencingnya muncrat kemana-mana.
Biarkanlah orang-orang yang
membencimu karena kau berbeda paham dengannya menyelesaikan dirinya sendiri.
Ismail Amin, sementara menetap di Iran