Posted by : ismailamin
Sabtu, 18 April 2015
Dalam kitab Darsaha_e dar Qur'an
(Pelajaran-pelajaran dalam Al-Qur'an) yang ditulisya, Ayatullah Muhsin Qira'ati
menukil sebuah riwayat yang menyebutkan Rasulullah Saw pernah bersabda,
"Dalam surah Hud, terdapat sebuah ayat yang membuat saya merasa berusia
lanjut, dan ayat itu adalah, maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu…"
Ayat yang dimaksud Rasulullah Saw
tersebut terdapat dalam surah Hud ayat 112. Kalau kita melirik sekilas bunyi teks
ayat tersebut, …maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana
diperintahkan kepadamu… tampak tidak ada yang istimewa dari ayat tersebut.
Sebab banyak ayat lain yang memerintahkan hal serupa.
Perintah untuk bersabar
dan tetap teguh berada di jalan yang benar adalah perintah Allah swt yang
tersebar dalam banyak ayat. Namun, ada yang membedakan antara ayat ini dengan
ayat yang lain. Sesuatu yang istimewa, yang kata Rasululllah Saw membuatnya
merasa berusia lanjut, merasa lebih tua dari usianya. Yang unik adalah frase
kalimat, kama umirta, sebagaimana diperintahkan kepadamu.
Ayat ini mengisyaratkan, banyak
orang yang bersabar untuk tetap berada di jalan kebenaran, namun bukan karena
perintah Allah swt. Ada motif lain yang lebih dominan. Bisa jadi karena
khawatir terhadap omongan orang. Ia tidak ingin disebut lemah dalam berdakwah,
ketegarannya karena ia malu jika disebut tidak punya pendirian. Karena itu
kesabarannya menghadapi segala problema hidup dan kesulitan-kesulitan berada di
jalan Allah yang dihadapinya lebih dimotivasi oleh keinginannya untuk dikenal
sebagai orang yang teguh pendirian. Ia bertahan untuk memamerkan kekuatan
dirinya. Dalam pandangan Allah swt, kesabaran dan keteguhan yang dilatari oleh
kepentingan-kepentingan pribadi semacam itu, tidak memiliki nilai sama sekali.
Sebab kesabaran tersebut, telah menyimpang jauh dari tuntutan Ilahi.
Dalam ayat lain disebutkan, "Dan
orang-orang yang bersabar karena mencari keridhaan Allah…". Kesabaran
yang terlahir dari keinginan tulus untuk mencari keridhaan Allah lah yang
memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Bukan kesabaran yang dipaksakan
demi popularitas, mencari pengaruh dan lebih khawatir terhadap singgungan orang
lain.
Tetap berada dalam rel Ilahi memang
sulit, bukan jalan yang bisa ditempuh dengan mudah. Terkadang banyak
kepentingan-kepentingan pribadi yang turut menyusup untuk mengambil bagian dari
setiap niat-niat kita. Karena itu, Nabi Saw sendiri tiba-tiba merasa lebih tua,
ketika diingatkan oleh Allah swt, bahwa ketegaran hati dan kesabaranmu harus
karena perintahKu. Tiga orang pertama yang dihempaskan ke dalam neraka,
sebagaimana yang disebutkan Rasulullah Saw dalam salah satu sabdanya, adalah
bukan mereka yang tidak melakukan amalan-amalan shalih, justru mereka yang
ketika di dunia melakukannya. Ketiga orang tersebut adalah orang berilmu, orang
yang dermawan dan orang yang gugur dalam peperangan melawan musuh Islam. Namun
motif mereka melakukan amalan shalih tersebut bukan karena perintah Allah.
Secara lahir iya, namun niat yang terpendam dalam hati-hati mereka bukan karena
Allah, melainkan karena ingin disebut pemberani, demi popularitas, hasrat
mencari pengaruh atau karena ingin balas dendam.
Dalam sebuah peperangan, Imam Ali as
telah merobohkan salah seorang lawannya. Beliau telah berada dalam posisi yang
menguntungkan, sekali mengayunkan pedang, leher musuh tersebut akan tertebas.
Namun ketika beliau hendak mengayunkan pedang, sang musuh dengan tiba-tiba
meludahi wajah Imam Ali as. Imam Ali terhenti seketika, mengusap wajahnya yang
berlumuran ludah, dan kemudian berbalik meninggalkan musuhnya yang masih
tergeletak tak berdaya. Sang musuh diliputi keheranan, ia menyempatkan diri
teriak, "Wahai Ali, mengapa kau hentikan ayunan pedangmu, mengapa kau tak
jadi membunuhku?"
Imam Ali as menjawab, "Saya
khawatir niatku membunuhmu bukan karena perintah Allah melainkan karena
kegeramanku akan ludahmu di wajahku."
Melakukan
amalan yang didasari semata-mata karena memenuhi perintah Allah swt sebagaimana
yang dilakukan imam Ali as tersebut di atas dinamakan ikhlas, pelakunya disebut
mukhlis. Ikhlas adalah serapan dari bahasa Arab, akar katanya khalasha,
khalushan, khalashan yang berarti jernih dan lenyap kotoran darinya.
Kalimat akhlasha asy-syai’a berarti menjernihkan dan menyucikannya dari kotorannya.
Dalam surah An Nahl, ayat 66 Allah swt berfirman,
وَ إِنَّ لَكُمْ فِي
الْأَنْعامِ لَعِبْرَةً نُسْقيكُمْ مِمَّا في بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَ
دَمٍ لَبَناً خالِصاً سائِغاً لِلشَّارِبينَ
”Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran
bagimu. Kami memberimu minum dari dalam perutnya (berupa) susu bersih (yang
keluar) antara tahi dan darah, yang segar ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya."
Khalishan dalam
ayat tersebut menunjukkan sifat dari susu yang bersih dan murni, tidak
tercampuri oleh tahi ataupun darah binatang ternak. Demikian pula keikhlasan
dalam pengertian syar'i, tidak ada niat apapun yang mencampuri dan
menodainya, murni segala perbuatannya karena Allah swt. Betapa melelahkannya
melakukan sesuatu yang motifnya hal-hal yang bersifat duniawi dan material.
Suami yang kelelahan sehabis bekerja di luar rumah, bisa saja akan menggerutu
jika istrinya tidak memberi pelayanan sebagaimana yang diharapkannya. Ia merasa
berhak mendapat pelayanan maksimal dari istrinya karena merasa kelelahannya
mencari nafkah adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Rasulullah Saw
pernah bersabda bahwa seorang laki-laki yang pagi-pagi keluar rumah dengan niat
untuk mencari nafkah yang dengan itu ia menjaga kelangsungan hidup istri dan
anak-anaknya, maka ia tergolong mujahid di jalan Allah. Namun dengan syarat,
faktor penggerak utamanya adalah karena Allah swt. Karena Allah swt telah
memerintahkan demikian. Dia mengetahui bahwa hanya Allah yang akan memberi
balasan atas segala amal-amalnya, dan tidak yang lain. Ia merasa tidak perlu
menuntut penghargaan atau balasan dari anak dan istriny
a. Dalam keyakinannya,
istri dan anak adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dilindunginya.
Berbeda halnya dengan
mereka yang bekerja murni karena sekedar untuk mencari nafkah, untuk sekedar
terpenuhi kebutuhan hidup keluarganya atau untuk memperkaya diri. Maka dia akan
selalu berharap balasan dan penghargaan dari orang lain atas apa yang telah
diupayakannya. Ia merasa datangnya harta karena usahanya, sehingga merasa
berhak atas penghargaan dan pelayanan dari keluarganya. Jika ia tidak
mendapatkannya, maka ia akan marah, menggerutu, tidak tenang di rumah dan
kemudian menjadi awal prahara keluarganya.
Marilah kita ikhlas
dalam beramal, dalam berbuat kebaikan. Kita tak perlu menanti balasan dari
siapapun selain Allah. Kita menunggu pembalasan dari Allah itu juga karena Dia
yang menjajikan dan Dia Maha Pemenuh Janji.
Ketika kita berbuat baik kepada
orang lain karena Allah, maka hati tidak perlu digelisahkan dengan sikap orang
tersebut. Tidak berterimakasih. atau malah membalasnya dengan keburukan, bukan
masalah. Karena kita mengharapkan balasan dari yang memerintahkan berbuat baik,
yaitu Allah Swt. Allah membalas setiap kebaikan kita kepada orang lain, tidak
melulu melalui orang yang telah kita bantu.
Allah akan menggerakkan tangan,
menggoda hati sebanyak-banyaknya hamba-Nya untuk meringankan segala persoalan
mereka yang senantiasa memberikan bantuan, dengan ikhlas, tanpa pamrih.
Qom, 10 April 2011
Ismail Amin, sementara menetap di Qom