Posted by : ismailamin
Sabtu, 18 April 2015
Harus kita akui, ada yang tidak beres dengan pola
keberagamaan kita selama ini. Meskipun secara retorik kita bisa digolongkan
sebagai masyarakat agamis, namun labelisasi ini harus berani untuk kita tinjau
kembali apalagi jika direlevankan dengan realitas sosial. Sebab agama meskipun
sifatnya sakral, manfaatnya harus dikembalikan kepada pelaku dan penganutnya.
Bagaimana kita beragama, manfaatnya bukan kembali kepada pemilik agama (Tuhan)
melainkan untuk pelakon agama (manusia).
Karenanya ukuran seseorang beragama
dengan baik semestinya bukan ditinjau bagaimana ia mencapai maqam spiritual
yang tinggi lewat ritus-ritus peribadatan belaka, namun bagaimana ia
mentransformasikan semangat ritus-ritus ibadah tersebut kedalam gerak sosial
yang nyata. Setiap ritus Islam mengandung pesan-pesan sosial, ini yang tidak
boleh kita abaikan. Shalat misalnya, sebagaimana yang disampaikan dalam
Al-Qur'an, bahwa shalat itu dapat mencegah pelakonnya dari berbuat keji dan
mungkar. Mushalli (pelakon-pelakon shalat) menurut Islam adalah
orang-orang yang tercegah tangannya dari berbuat keji dan mungkar.
Jadi dalam
shalat, yang terpenting bukan hanya menjaga kekhusyukan dan rukun-rukun shalat,
namun juga bagaimana shalat yang ditunaikan tersebut memberikan pengaruh kepada
pelakunya untuk aktif dalam gerakan-gerakan sosial yang membawa perbaikan dan
bukan terlibat sebagai pelaku kekacauan sosial. Jadi beragama dengan baik,
bukan hanya dilihat bagaimana pelakunya mengoperasikan simbol-simbol agama secara
ritualistik, namun juga bagaimana ia membuktikan keberagamaannya pada tataran
praktis.
Syiar agama yang terpenting bukan terletak pada besarnya jubah,
panjangnya surban, banyaknya butiran tasbih ataupun melalui kesemarakan
perayaan-perayaan melainkan sejauhmana penganutnya menjalankan pesan-pesan
agama tersebut untuk menciptakan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan yang
menjadi tujuan syariat.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak
umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi
mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan
kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya
Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah yang mahal dan super
lembut, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit, kekurangan
gizi dan berbaring tanpa alas.
Bukankah kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk
upacara-upacara keagamaan, disaat ribuan anak negeri ini tidak dapat
melanjutkan sekolah. Rumah ibadah dibuat semegah mungkin dengan
menghabiskan dana puluhan juta, namun disaat yang sama disekitaran masjid kita
lihat bergelimpangan orang-orang yang kesulitan mencari makan. Jutaan uang
dipakai untuk naik haji dan umrah berulang kali, di saat ribuan orang sakit
menggelepar tidak mampu membayar biaya rumah sakit.
Islam bukan pula agama teoritis belaka yang hanya bisa didekati setelah
sebelumnya belajar mantiq, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh dan ilmu-ilmu
pengantar lainnya, lebih dari itu Islam adalah agama aksi. Saya tidak
mengatakan belajar teori-teori Islam itu tidak penting, namun ajakan saya
bagaimana kita lebih memprioritaskan aspek afektif (berbuat) dibanding aspek
kognitif dari agama ini.
Barometer kebangkitan Islam mestinya ditinjau dari
keberhasilan umat dalam pencapaian keadilan dan kesejahteraan terkhusus pada
penguasaan pada wilayah politik-sosial-ekonomi, bukan semata dilihat dari
semakin banyaknya bangunan masjid, semaraknya dakwah di tivi-tivi dan media,
merebaknya penggunaan busana dan simbol-simbol Islam, bergesernya trend
masyarakat ke nasyid-nasyid dan film-film religius ataupun mencuatnya
kecenderungan pemerintah daerah memberlakukan perda-perda syariat.
Sebagaimana
pesan Nabi saww, seorang muslim adalah yang paling bertanggungjawab terhadap
keadaaan sosialnya, maka kebangkitan umat harus ditandai dengan semakin
banyaknya aktivis-aktivis Islam yang peka terhadap problem-problem sosial dan
aktif dalam gerakan-gerakan untuk menyelesaikannya, bukan untuk kepentingan
sektarian atau kelompok semata, namun pesan Islam sebagai agama rahmat bagi
sekalian alam harus menjadi asas dalam aksi-aksi pembebasan tersebut.
Diantara tanda keberimanan seseorang kata Nabi,
begitu terjaga dari tidurnya, ia langsung memikirkan persoalan umat. Memikirkan
yang dimaksud tentu saja bukan hanya sekedar dipikir dengan berdiam diri saja
tanpa aksi nyata lebih lanjut. Sebab
Islam bukan agama retorika dan teoritis belaka. Ia bukan hanya didakwahkan lewat ceramah di
mimbar-mimbar namun juga lewat aksi nyata di tengah-tengah masyarakat. Kaum
agamawan adalah mereka yang jeli melihat dan merasakan denyut perubahan.
Problem-problem kemanusiaan tidak lagi relevan didekati secara mistis, bahwa
semua sudah menjadi suratan takdir, dan tinggal menunggu takdir Allah lainnya
untuk mengubahnya. Banjir misalnya, tidaklah sesuai dengan maksud agama jika
dikatakan bahwa itu adalah ujian dari Allah semata, ada nalar agama yang harus
kita kedepankan, yakni bagaimana kita menjaga lingkungan dan lebih menghargai
alam sebagai cara kita beragama. Tugas alim ulama kita bukanlah sekedar
mendo'akan arwah para TKW yang menjadi korban kebiadaban majikan tempat dimana
ia bekerja dan meminta keluarganya untuk bersabar bahwa itu semua ujian dari
Allah, namun lebih dari itu elit agama kita harus mampu menjadi juru runding
untuk lebih menusuk ke dalam inti persoalan dengan memakai pendekatan yang
tepat.
Inilah yang kita tunggu-tunggu dari para pelakon
agama, khususnya di tingkat elitnya. Yakni menjalankan peran sosial Islam,
menjadi pihak yang paling bertanggungjawab untuk mengakhiri kekisruhan sosial.
Ulama-ulama yang menjadikan Islam sebagai agama aksi dan terlibat langsung
dalam gerakan-gerakan kemanusiaan, adalah ulama dambaan umat. Tentu kita tidak
ingin bangsa ini diklaim sebagai bangsa agamis, tapi terus menjadi bangsa yang
terinjak-injak dan berada di anak tangga paling bawah dalam pergaulan
internasional.
Ada kesenjangan yang mengerikan dari klaim tersebut dengan
realitas. Ini yang harus kita ubah. Semakin agamis seseorang semakin gesit ia
mencari tahu persoalan ummat, semakin saleh seseorang semakin ia aktif dalam
gerakan-gerakan kemanusiaan. “Bukanlah orang-orang yang meratakan dahinya ke
lantai masjid,” kata Emha yang disebut sebagai orang yang beragama, “dan
membiarkan beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.”
Namun
orang yang beragama adalah sebagaimana yang dikatakan Imam Khomeini,
"Tahukah kau shalat yang khusyuk? Yakni shalat yang memberinya energi
untuk bertindak memperbaiki kondisi sosial masyarakatnya."
Wallahu 'alam Bishshawwab
Ismail Amin, sementara menetap di Qom Iran