Posted by : ismailamin
Sabtu, 18 April 2015
Memaafkan adalah salah satu akhlak yang sangat mulia dalam Islam.
Para Maksumin as bukan hanya sekedar memberikan contoh dan teladan dalam hal
ini namun juga mewajibkan para pengikutnya untuk menjadikan sifat memaafkan
sebagai perhiasan diri.
Memberi maaf berkaitan erat dengan kesabaran. Sabar
untuk tidak melampiaskan kemarahan secara tidak wajar ketika disakiti, diejek
ataupun dicemooh orang serta sabar dalam menanti orang lain mengalami proses
menuju kebaikan dan kesempurnaan dirinya. Dalam pandangan Ahlul Bait, kesabaran
mengambil porsi banyak dalam agama. Imam Ja'far Shadiq as pernah bersabda,
"Wahai umat manusia, tetaplah berada dalam kesabaran. Sebab bagi yang
tidak memiliki rasa sabar, sesungguhnya tidak memiliki agama." (Bihar al
Anwar, jilid 48 hal. 92).
Para ulama akhlak membagi sabar menjadi tiga bagian. Sabar dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan, sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar
dalam menjauhi kemaksiatan.
Sabar dalam menghadapi kesulitan adalah sebuah pembahasan yang
sangat urgen dalam Islam. Al-Qur'an memberi wasiat kepada kita untuk bersabar
dalam menghadapi kesulitan. Pada akhir surah Al-Furqan, ketika berbicara
mengenai sifat-sifat orang mukmin, Allah SWT berfirman, "Dan hamba-hamba
Tuhan itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan." (Qs. Al-Furqan: 63).
Seorang mukmin yang
sejati adalah yang senantiasa memberikan keselamatan bagi orang lain. Ia tidak
peduli dengan sikap jahil orang lain atas dirinya. Sungguh sangat mengagumkan,
kata-kata kasar justru dibalas dengan kata-kata yang lemah lembut. Kalimat
penuh permusuhan justru dibalas dengan kalimat yang mengandung keselamatan dan
pencerahan. Sifat sabar dan pemaaf inilah yang membedakan antara orang beriman
dengan yang tidak beriman. Sebab jika kata-kata kasar dibalas dengan kata-kata
sejenis tentu seorang mukmin tidak akan tampak keistimewaannya diatas yang
lain.
Pada permulaan surah Muzammil juga mengisyaratkan akan hal ini.
Allah SWT berfirman, "Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan
jauhilah mereka dengan cara yang baik." Melalui ayat ini, Allah SWT
menawarkan metode pendidikan yang sangat
brilian. Bagi para pendidik atau orangtua yang mendapat amanah untuk mendidik
generasi yang sedang bertumbuh firman Allah SWT tersebut bisa dijadikan
inspirasi.
Dalam menghadapi manusia yang sedang dalam menjalani proses
kematangan berpikirnya, kita harus menghadapinya dengan sikap penuh kesabaran,
bukan dengan kemarahan dan sikap masam. Dan jika mereka tidak juga menunjukkan
adanya perubahan sikap, maka kita bisa berpaling dan menjauh namun tetap dengan
cara yang baik. Yang dengan itu bisa diharapkan mereka akan menyadari sikapnya
dan menjadi terdidik.
Memaafkan atau bersabar atas kesalahan orang lain tidak identik
dengan sikap toleran atau membenarkan kesalahan tersebut. Untuk
kesalahan-kesalahan tertentu yang mengharuskan terjadinya hukuman, memaafkan
bukan berarti menghapus hukuman atau dengan minta maaf serta merta akan
menghilangkan efek dari kesalahan.
Islam bukanlah agama yang hanya mengurusi masalah pribadi atau
hanya sekedar berkaitan dengan hubungan makhluk dengan Khalik semata namun juga
merupakan tata aturan yang memberikan jaminan keselamatan dan ketentraman dalam
kehidupan sosial. Nabi Muhammad Saw dan para Aimmah as, ketika berkaitan dengan
kehidupan pribadinya ia lebih sering memaafkan dan bersikap sabar namun jika
berkaitan dengan kepentingan sosial, maka segala upaya dikerahkan untuk
menghentikan kejahatan dan kezaliman.
Kisah yang paling ma'ruf mengenai Nabi Saw
adalah betapa menakjubkannya akhlak Nabi saat beliau membesuk salah seorang
musuhnya yang terbaring sakit padahal sebelumnya sering melemparinya dengan
kotoran unta dan meludahinya. Ataupun Imam Ali as yang membatalkan mengayunkan
pedang di leher musuhnya yang sudah terjatuh, hanya karena musuh tersebut
sempat meludahi wajahnya. Imam Ali as khawatir niatnya membunuh karena
kemarahan atas ludah musuhnya itu, bukan karena perintah Allah SWT.
Pribadi-pribadi yang sedemikian lembut dan penyayang tersebut, itu
jugalah yang gagah berani di medan perang. Wajah yang senantiasa ceria dan
menyunggingkan senyum penuh kebaikan dan kelembutan tersebut adalah wajah yang
juga dingin dan kaku ketika melihat para pengkhianat di eksekusi.
Sabar Tidaklah Identik dengan Kelemahan
Kesabaran sebagaimana asal katanya bermakna ketegaran hati,
keberanian dan jauh dari sikap yang melemahkan. Dalam kitab tafsir Majmu Al
Bayan, Ayatullah Tabrisi mengartikan sabar sebagai kemampuan diri mengendalikan
hawa nafsu. Jadi sama sekali tidak benar jika sabar dan sikap pemaaf
diindentikan dengan kelemahan diri. Sebagaimana defenisinya, sabar justru
berkebalikan dari itu. Menghinakan diri, tetap konsisten dengan keadaan yang
merusak diri, rela untuk dizalimi dan pasrah pada keadaan yang menyakitkan
sesungguhnya bukanlah termasuk kesabaran.
Dalam surah Al Anfal ayat 65, Allah SWT berfirman, "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada
dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan
orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti."
Oleh karena itu
sabar bukanlah pasrah dengan keadaan yang merusak dan takluk di bawah musuh,
namun sabar justru adalah sikap melawan pada musuh, baik musuh lahir maupun
musuh dari dalam diri.
Kesabaran justru merupakan kekuatan terbesar kaum muslimin. Itu
sebabnya Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar." (Qs. Al-Baqarah: 153).
Jadi sesungguhnya tidaklah kontradiksi antara sabar dan sikap
pemaaf Rasulullah Saw dengan kedudukan beliau sebagai panglima perang
dalam menghadapi musuh-musuhnya. Perang
yang dikobarkan Rasulullah Saw dan para Imam Ahlul Bait as adalah perang untuk
menghentikan kezaliman, perang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan perang
untuk menebarkan keadilan.
Lihat saja, bagaimana sikap Rasulullah Saw ketika
Fathul Makah (pembebasan kota Makah). Ketika para musuh yang telah takluk lari
berkeliaran mencari perlindungan karena menyangka pasukan Nabi akan menghabisi
nyawa mereka semua sebagai aksi balas dendam atas makar dan kejahatan mereka
selama ini, Rasulullah Saw justru memberikan ampunan dan maaf serta memberikan
jaminan keselamatan atas mereka semua. Akibatnya? Kaum kafir Qurays yang
sebelumnya begitu memendam rasa permusuhan kepada Nabi dengan penuh kebencian
berbondong-bondong mendatangi Nabi dan menyatakan diri masuk Islam dan
mematrikan hatinya pada keimanan kepada Allah SWT karena terpukau dengan
kelembutan dan sikap pemaaf Rasulullah Saw.
Sikap Nabi Saw tersebut sejalan dengan firman Allah SWT,
"Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (Qs. Az-Zumar: 53).
Kepada mereka yang meskipun sudah keterlaluan dalam berbuat dosa, Allah
swt tetap memanggil dengan kata-kata yang begitu lembut dan mesra, "Wahai
hamba-hambaKu…".
Memaafkan kesalahan orang lain adalah diantara keutamaan akhlak
yang sangat ditekankan oleh Al-Quran dan ajaran Ahlul Bait as. Yang berhak
menerima syafaat adalah mereka yang telah mampu menghiasi diri mereka dengan akhlak
Ahlul Bait as di dunia ini dan semampu mungkin telah menyerupakan diri dengan
mereka.
Salah satu kriteria dan keutamaan akhlak yang terpancar secara
jelas dari pribadi Ahlul Bait as adalah sifat memaafkan orang lain. Metode yang
selalu digunakan oleh Rasulullah Saw dan para maksumin as dalam menghadapi
kesalahan dan bahkan hinaan orang lain adalah perlakuan yang sangat mulia.
Mereka memaafkannya dan malah berbuat kebajikan kepadanya. Hal ini menyebabkan
orang itu merasa malu atas perbuatan yang telah ia lakukan.
Dalam surah An-Nahl ayat 126, Allah
SWT berfirman, "Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar."
Begitupun pada surah Asy-Syura ayat 40, "Dan balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik
(kepada yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak
menyukai orang-orang zalim."
Secara sekilas pesan kedua ayat
tersebut memperbolehkan kita membalas sebuah perbuatan buruk, dengan perbuatan
buruk yang serupa pula. Namun makna akhlaki
ayat tersebut menegaskan, jika seseorang membalas kesalahan orang lain dengan
kesalahan yang serupa, maka ia telah berbuat sebuah kesalahan juga. Karena itu
Allah SWT memberikan alternatif yang lebih baik, yakni lebih mengedepankan
sikap sabar.
Ayatullah Husain Mazahiri, salah seorang ulama besar kontemporer
Iran yang sering membahas persoalan akhlak dalam ceramah-ceramah dan
kitab-kitabnya menguraikan tiga tingkatan sifat pemaaf dalam Al-Qur'an. Pada
tingkatan pertama, seseorang memperhitungkan keburukan dan kesalahan yang telah
dilakukan oleh orang lain. Namun ia rela memberi pemaafan demi keridhaan Allah
SWT.
Pada tingkat kedua, seseorang dengan begitu saja memaafkan
kesalahan orang lain tanpa pernah memperhitungkan dan mengungkit-ungkitnya. Dalam
terminologi Qurani, sifat memaafkan seperti ini disebut shafh.
Dan pada tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya tidak
memperhitungkan kesalahan orang lain, tidak pula sekedar memaafkan bahkan
membalasnya dengan kebajikan. Dalam terminologi Qurani, sifat memaafkan ini
disebut ghufran.
Sikap ghufran dalam menghadapi kesalahan orang lain adalah
sebuah tindakan yang sangat sulit. Akan tetapi, Al-Quran senantiasa mengajak
seluruh kaum mukminin di samping memaafkan dan shafh, juga harus berbuat
kebajikan kepada mereka yang telah berbuat kesalahan. Hal ini sejalan dengan sebuah
pepatah bijak yang mengatakan, "Berakhlaklah sebagaimana pohon mangga,
dilempari orang yang lewat, namun ia membalas dengan memberi buah yang
ranum."
Semoga kita semua
termasuk hamba-hamba yang dikarunia hati yang penyayang, lembut dan senantiasa
lebih memilih memaafkan daripada membenci dan memusuhi.
Wallahu 'alam
bishshawwab
Ismail Amin, sementara menetap di Qom Iran